Jangan Ada Lagi Generasi Menunduk

Anak-anak asyik bermain gadget.
Sumber :

VIVA – Mengapa dikatakan Generasi Menunduk? Karena hampir semua orang yang berusia produktif memiliki satu ciri khas saat ada di tempat umum, yaitu menunduk. Bukan menunduk karena malu, namun menunduk karena terpaku pada layar gadget.

Jangan Sampai Terlewat Ramadan Sale di Blibli, Promo Spesial Smartphone iPhone, Samsung dan Oppo

Tidak dapat dipungkiri, bahwa semakin ke sini, generasi yang tumbuh bisa dikategorikan dari seberapa pesat teknologi sedang berkembang. Semakin teknologi berkembang pesat, semakin terikatlah generasi tersebut di dalamnya. Saat sedang berjalan mencari makan, banyak orang sibuk dengan gadget dan media sosialnya. Saat sedang asyik berkumpul dengan teman-teman, masih sibuk dengan Instagram yang harus update tepat waktu.

Sudah tak pernah lagi kita dapat ucapan sapaan dengan senyum tulus dari orang sekitar kita. Tak sadarkah kita, kini kita semakin jauh dengan keakraban yang terjalin dengan senyum, sapaan, dan jabatan tangan. Kurasa kini semua itu terasa asing untuk kita di zaman milennial ini.

Viral Penumpang 'Nebeng' Listrik Buat Catok Rambut hingga Masak Nasi di Kereta, KAI Buka Suara

Kita semua sudah terlihat bahagia dan tertawa sendiri dengan dunia semu yang sedang melekat pada hidup kita masing-masing. Sampai melupakan bahwa dunia nyata lebih bisa menjanjikan kenyataan kebahagiaan yang tak semu dan fatamorgana. Kini, hanya lewat emoji berkarakter yang dibuat oleh manusia, kita dapat sampaikan ekspresi wajah kita. Tanpa perlu repot-repot menunjukkan ekspresi asli kita di hadapan orang-orang.

Kini, semua tergantikan dengan canggihnya gadget yang kita miliki, yang sudah seperti nyawa kedua kita. Tanpa gadget, seakan dunia runtuh dan jantung seketika berhenti berdetak. Gadget sudah merupakan jantung untuk kehidupan setiap manusia. Kehilangan gadget sudah membuat orang seperti kehilangan akal, dan dunia seakan berhenti berputar pada porosnya.

Didikan Keras Sang Ayah, Cristiano Ronaldo Jr Dilarang Punya Ponsel Sendiri

Di manapun dan kapanpun kita berada, tak dapat lagi kita temukan orang-orang yang berjalan dengan menatap lurus ke depan. Semua berjalan menunduk, terpanah pada layar putih yang menyajikan banyak keceriaan semu. Seakan- akan setiap jutaan manusia yang berjalan menunduk sudah dipasang radar bahaya di depan dan di belakang. Tak peduli ada lubang atau tiang, mereka seperti sudah terpasang alat pengingat bahaya. Mahir berjalan tanpa tersandung dan membelokkan diri seketika jika di hadapannya akan menabrak manusia lain.

Sudah tak asing bagi kita jika melihat orang-orang tertawa dan senyum-senyum sendiri tanpa menghiraukan kehadiran orang lain di sebelah atau sekitarnya. Dengan melakukan hal seperti itu, kita sudah merasa memiliki banyak teman dan hidup merdeka. Sangat miris rasanya bahwa teknologi yang berkembang pesat dan meledak ternyata menarik manusia ke dalam kehidupan anti sosial. Sekalipun mereka aktif dalam media sosial, belum tentu mereka aktif di kehidupan sosial di dunia nyata.

Sadarkah kita, bahwa ketagihan dengan media sosial menjauhkan kita pada kehidupan positif bersama orang lain di sekitar. Kita melupakan semua kegiatan yang menyenangkan di dunia nyata tanpa bumbu-bumbu gadget, dan lawakan di timeline media sosial. Kita melupakan cara untuk tertawa lepas alami dari  lawakan teman sendiri.

Kita juga melupakan cara untuk bisa bercerita keluh kesah kita dengan teman tatap muka. Itu semua tergantikan dengan teknologi yang menjadi kehidupan kedua untuk kita. Semua dipermudah dengan konten dan kecanggihan yang dimiliki setiap gadget.

Kini, kita tak perlu repot-repot berkumpul di suatu tempat atau ruangan hanya untuk sekadar mengobrol dan bersenda gurau. Kini, sudah tersedia konten chatting dengan membuat group dan mengundang beberapa anggota kemudian terjadilah percakapan. Kini semua manusia mendadak menjadi aktivis, bukan aktivis di lembaga-lembaga melainkan aktivis media sosial.

Kini, pekerjaan paling diminati adalah menjadi netizen dan haters di akun sosial media orang lain. Pekerjaan paling mahir adalah menjadi hacker untuk meretas akun media sosial orang lain. Men-stalker akun sosial media sudah menjadi hobi setiap manusia.

Kini, banyak netizen yang karakternya berubah 180 derajat menjadi puitis seperti Chairil Anwar. Mengeluarkan kata-kata bergaya sastra demi sebuah like dan komentar. Seketika menjadi pujangga dadakan dengan bahasa yang menyilaukan hati. Mengumbar kata sayang dan kemesraan di media sosial yang menjadi tameng bahwa mereka adalah pasangan yang paling bahagia. Padahal, pada nyatanya itu semua hanya tipuan. Di balik foto dan caption yang dibuat, ada ribuan waktu yang terbuang sia-sia hanya untuk membuat tulisan pelengkap di instagram.

Kini, kita harus sadar dengan kehidupan nyata kita. Kehidupan kita yang sesungguhnya berdiri tepat di depan mata kita, menunggu perubahan yang abadi. Menunggu kita untuk memberikan warna pada kehidupan kita. Kini, kita harus bangkit dan bergerak untuk tidak mengabaikan orang-orang di sekeliling kita.

Mari kita sama-sama mewujudkan mimpi dunia untuk memajukan kehidupan yang lebih baik. Mari kita bersama-sama menatap langit sore yang memang nyata di lukis alam yang kita lihat di pelupuk mata. Bangun di pagi hari dengan sinar mentari yang memberikan semangat untuk memulai aktivitas. Dan tidur dengan sinar bulan nyata yang melengkapi tidur malam kita. (Tulisan ini dikirim oleh Auliya Shifa Nabyla)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya