Berantas Ponsel Black Market, Operator Ogah Boncos

Ilustrasi jualan ponsel ilegal (black market).
Sumber :
  • cbc.ca

VIVA – Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia mendukung regulasi IMEI yang dicanangkan pemerintah. Namun, mereka keberatan dengan masalah investasi.

Pada 12 September lalu, ATSI telah memberikan 10 rekomendasi terhadap peraturan tersebut, dan salah satunya tentang pengadaan investasi sistem Equipment Identity Register, yang biayanya cukup mahal.

"Pengadaan investasi sistem EIR yang diadakan setiap operator seluler, yang tersambung ke jaringan bergerak seluler melalui IMEI, untuk tidak dibebankan seluruhnya ke operator seluler," kata Ketua Umum ATSI, Ririek Adriansyah di Jakarta, Selasa 24 September 2019.

Wakil Ketua Umum ATSI, Merza Fachys menjelaskan, biaya pengadaan EIR bisa mencapai US$40 juta atau sekitar Rp564 miliar. Padahal, operator tidak mendapat keuntungan dari regulasi ini, sehingga mereka merasa berat jika harus mengeluarkan dana sebesar itu.

"Kita semua tahu, kajian ini dikarenakan pemerintah mengalami kerugian Rp2,8 triliun per tahun akibat ada ponsel ilegal atau black market. Nah, sistem itu diharapkan bisa menjadi solusi," katanya.

Pemerintah merupakan pihak yang paling diuntungkan, jika sudah tidak ada lagi ponsel black market. Keuntungannya, ujar Merza, mungkin sama dengan kerugiannya, yakni Rp2,8 triliun.

Pihak lain yang juga mengalami keuntungan, adalah para pedagang. Jika ponsel ilegal tidak lagi bisa masuk, konsumen tetap membutuhkan ponsel dan itu akan masuk dalam porsi legal, sehingga pedagang masih akan tetap mendapat keuntungan.

"Pembebanan investasi harus dicari jalan keluarnya. Kami ingin tegas, tapi jangan semua (investasi). Ada porsinya masing-masing," ujarnya.