Bangladesh Tutup Akses Telepon Seluler di Kamp Pengungsi Rohingya

Kondisi Terkini Pengungsi Rohingya
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – Pemerintah Bangladesh memerintahkan operator untuk menutup layanan telepon seluler bagi hampir satu juta pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsi di wilayah tenggara negara itu.

Langkah itu dilakukan menyusul pecahnya aksi kekerasan dalam beberapa pekan terakhir di kamp perbatasan Cox's Bazar. Hampir satu juga pengungsi Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dari negara bagian Rakhine di Myanmar dua tahun lalu, karena tindakan kekerasan militer terhadap mereka.

Juru bicara Komisi Pengaturan Telekomunikasi Bangladesh (BTRC), Zakir Hossain Khan, mengatakan, operator telekomunikasi memiliki waktu tujuh hari untuk menyampaikan laporan mengenai tindakan yang mereka ambil guna mematikan jaringan di kamp tersebut.

"Banyak pengungsi menggunakan telepon seluler di kamp-kamp. Kami telah meminta operator untuk mengambil tindakan untuk menghentikannya. Keputusan ini dibuat atas alasan keamanan," kata Khan, seperti diberitakan Channel News Asia, Selasa 3 September 2019.

Salah satu pemimpin Rohingya yang tidak disebutkan namanya mengatakan, perintah itu cukup mengejutkan. Dia mengatakan, larangan itu akan sangat memengaruhi kehidupan pengungsi Rohingya dan mengganggu komunikasi antara berbagai kamp yang tersebar di distrik perbatasan Cox's Bazar.

"Kami tidak akan bisa berkomunikasi dengan kerabat yang tinggal di Myanmar maupun bagian lain dunia. Banyak warga Rohingya, mengandalkan remitansi yang dikirim oleh kerabat dan menerima panggilan telepon yang memberi tahu mereka tentang pengiriman uang," ujar pemimpin itu.

Juru bicara Kepolisian Ikbal Hossain menyambut keputusan tersebut, dengan mengatakan para pengungsi telah "menyalahgunakan" akses ponsel untuk melakukan kegiatan kriminal seperti perdagangan pil metamfetamin senilai ratusan juta dolar dari Myanmar.

"Itu pasti akan membuat dampak positif. Saya percaya kegiatan kriminal pasti akan turun," ungkap Hossain.

Polisi setempat mengatakan hampir 600 kasus perdagangan narkoba, pembunuhan, perampokan, perkelahian geng dan perselisihan keluarga terjadi di antara para pengungsi sejak mereka tiba.

Pasukan keamanan Bangladesh telah menembak mati total setidaknya 34 Rohingya selama dua tahun terakhir, sebagian besar karena dugaan penyelundupan metamfetamin.