Mudahnya Perjanjian Baku Elektronik 'Jebakan Pinjol' ke Masyarakat

Ilustrasi fintech ilegal
Sumber :
  • Dokumen Kominfo

VIVA – Ketua Komunitas Konsumen Indonesia, David M.L. Tobing mengakui, salah satu penyebab mudahnya masyarakat terjebak dengan pola fintech peer-to-peer lending, adalah karena kemudahan mekanisme peminjaman duit yang ditawarkan.

Dia menyebut, perubahan pola perjanjian konvensional dalam hal kredit atau peminjaman dana, di mana sebelumnya membutuhkan kehadiran pihak-pihak terkait, proses negosiasi, dan tanda tangan perjanjian, kini sudah semakin sederhana akibat proses digitalisasi tersebut.

"Tapi kalau di fintech ini, dengan perjanjian baku elektronik yang sekarang tren karena kemajuan teknologi, si konsumen terjebak karena kemudahan yang ada," kata David di kawasan Wijaya, Jakarta Selatan, Rabu 16 Oktober 2019.

David tak menyangkal, dengan akses kemudahan yang ditawarkan itulah akhirnya sebagian masyarakat dengan gampangnya memutuskan untuk melakukan pinjaman online atau pinjol.

Apalagi hal itu disokong dengan budaya konsumerisme, di mana azas kebutuhan kerap dikalahkan oleh hanya sekadar keinginan, sehingga mereka sangat mudah terjebak oleh rayuan dan kemudahan mendapatkan dana dari pinjaman online.

"Karena hal itulah yang membuat sebagian masyarakat, walaupun sebenarnya dia enggak butuh, tapi dia jadi ingin ikut-ikutan pinjam uang," ujarnya.

David mengakui, dari lima ratusan laporan dan aduan yang diterima pihaknya bersama LBH Jakarta, pola konsumerisme semacam itu cukup mendominasi motif dari maraknya kasus pinjaman online tersebut.

Meski demikian, lanjut David, dari ratusan laporan dan aduan terkait kasus pinjaman online itu, banyak kasus yang sebenarnya terjadi karena kelalaian dan tindakan serampangan para korban (masyarakat) saat melakukan pinjaman online tersebut.

"Dengan melihat laporan tersebut, tidak bisa diragukan bahwa korbannya memang banyak. Jadi kami tinggal melihat salah siapa, apakah konsumen atau perusahaan (fintech)," kata David.

"Jadi soal fintech legal dan ilegal, bedanya hanya pola kerja sesuai aturan OJK atau ikut komunitas asosiasi yang diamanatkan OJK. Kalau ada badan hukum legal standing-nya enggak sesuai dengan syarat OJK ya jelas itu melanggar," ujarnya.