Nasabah Pinjol Terjebak Pola Gali Lubang Tutup Lubang

Edukasi pinjaman online.
Sumber :
  • VIVA/Muhammad Yudha Prasetya

VIVA – Maraknya kasus akibat pinjaman online atau pinjol, yang diakomodasi oleh para perusahaan fintech peer-to-peer lending, membuat Ketua Komunitas Konsumen Indonesia atau KKI, David M. L. Tobing, merasa berkewajiban untuk menerangkan modus dan kondisi yang kerap ditemuinya dalam laporan serta aduan terkait hal tersebut.

David menegaskan, dalam masalah-masalah terkait pinjol, nyatanya tidak semua masyarakat atau konsumen adalah korban. Melainkan, ada juga yang termasuk ke dalam sumber dari masalah tersebut.

Dicontohkan, salah satu kasus yang diadukan kepada pihaknya, di mana ada seorang konsumen atau nasabah fintech yang memiliki kasus cukup parah akibat pola gali lubang tutup lubang.

"Jadi ada sejumlah konsumen yang karena bunga di suatu aplikasi fintech tinggi, maka dia gali lubang tutup lubang dengan meminjam dana lagi ke fintech yang berbeda," kata David dalam diskusi di kawasan Wijaya, Jakarta Selatan, Rabu 16 Oktober 2019.

David menceritakan, nasabah yang mengadu langsung kepadanya terkait kasus pinjol itu, ternyata telah memiliki utang dengan total mencapai Rp100 juta.

Saat dia menanyakan berapa banyak platform fintech yang diutanginya tersebut, dia pun terkejut karena sang nasabah telah meminjam uang kepada lebih dari 70 platform fintech peer-to-peer lending yang berbeda.

"Pas saya dengar pengakuannya, ya saya bilang selamat malam," ujar David.

Ketika dikorek lebih lanjut, si nasabah itu mengaku kepada David bahwa dia terpaksa melakukan pola gali lubang tutup lubang seperti itu, guna membayar tingginya bunga pinjaman pada platform fintech pertama yang dipinjaminya.

Utang awal sebesar Rp2 juta dengan bunga tinggi yang harus dibayarnya itu, nyatanya harus dilunasi dengan meminjam dana lagi kepada platform fintech lainnya.

David mengakui dalam kasus semacam itu, yang secara kronologi disebabkan oleh si nasabah itu sendiri, pihaknya cukup sulit untuk membantu menyelesaikannya.

Sebab, menurutnya, kondisi itu justru lebih dikarenakan kewajiban untuk membayar tunggakan, dan kecerobohan si nasabah itu dalam mengatur keuangan pribadinya. Meskipun, tak bisa disangkal bahwa sebenarnya si nasabah itu juga memiliki iktikad baik untuk melunasi semua pinjamannya tersebut.

"Jadi tidak semua konsumen beriktikad baik. Ada juga yang tidak beriktikad baik atau bahkan yang teledor. Yang teledor pun mungkin tidak berniat jahat, tapi ceroboh," kata David.

"Jadi, satu hal yang harus diingat oleh masyarakat adalah, pinjam online itu hanya dimanfaatkan apabila kondisinya benar-benar membutuhkan, bukan hanya sekadar keinginan," ujarnya.