Ciptakan Efisiensi OJK Paksa Bank BUKU 1 dan 2 Lakukan Konsolidasi

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana.
Sumber :
  • VIVAnews/Dusep Malik

VIVA – Pengelolaan industri perbankan di Indonesia semakin tidak mudah. Hal itu karena tuntutan persaingan industri perbankan yang sangat ketat, dan juga hadirnya teknologi yang bisa bergerak bebas.

Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan mendorong industri perbankan khususnya Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 1 dan 2 melakukan konsolidasi, dan tidak hanya terjebak dalam kondisi nyaman karena memiliki nasabah yang loyal. 

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan yang juga Anggota Komisioner OJK, Heru Kristiyana mengatakan persaingan industri perbankan semakin kompleks. Sebab, munculnya Financial Technology membuat persaingan di jasa perbankan semakin ketat. 

Menurut dia, dengan adanya teknologi sekarang ini bisnis berbasis Fintech semakin bebas bergerak. Sebab, tak banyak aturan dan cukup mengandalkan teknologi tanpa harus membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM).

"Kalau perbankan konvensional itu industri high regulated, OJK juga dinilai sering mengatur dan hal itu membuat mereka (BUKU 1 dan 2) semakin terhimpit. Belum lagi lahan mereka diambil bank besar," jelas Heru dalam diskusi bersama media, di Semarang, dikutip Senin 4 November 2019.

Untuk itu, lanjut Heru, dengan berbagai macam faktor tersebut, bank dengan permodalan kecil tentunya menjadi semakin rentan menghadapi persaingan. Dan bila itu tidak semakin efisien, tentu sistem keuangan nasional bisa terganggu. 

"Kita mendorong konsolidasi karena melihat faktor risiko juga. Ini harus diantisipasi dan kita harus punya industri perbankan yang kuat dan kontribusi besar," ucap Heru.

Data OJK mencatat, per Juni 2019 jumlah bank BUKU 1 atau modal di bawah Rp1 triliun mencapai 21 bank, lalu dengan modal inti Rp10,78 miliar dan total aset Rp91,15 miliar atau 1 persen dari total bank umum sebanyak 112 bank.

Sedangkan jumlah bank BUKU 2, bank dengan modal inti Rp1 triliun- Rp5 triliun, sebanyak 59 bank, yang memiliki modal inti Rp160,08 miliar dan total aset Rp1,07 triliun atau 13 persen.

"Ini aturan lagi kita buat dan bisa macam-macam. Bisa mereka suruh perkuat modal dan ini bisa karena keadaan pasar (market driven) atau yah diharuskan seperti aturan modal, misalnya modal dalam aturan tidak tercapai pilihannya di likuidasi atau konsolidasi (gabung) dengan batas waktu tertentu," ujarnya.