Kecintaan Orang Jerman pada Budaya Jawa

Muhammad Haidar
Sumber :
  • dw

Dr. Lydia Kieven lahir di sekitar daerah KÃln, Jerman. Di negaranya ia dikenal sebagai pakar budaya Jawa. Pada acara kebudayaan 'Cultoography' yang diselenggarakan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Duisburg-Essen di bulan Oktober lalu, Lydia tampil di atas panggung dengan didampingi dua temannya.

Mereka menceritakan kisah cinta Panji dan Sekartaji. Penampilannya diselingi pembacaan puisi, lantunan gamelan dan ditemani tembang macapat. Penonton pun terpukau. Cerita Panji berhasil dibuat lebih hidup.

Perempuan yang dulu menjalani kuliah Malaiologie atau bahasa, sastra dan budaya Indonesia, ini telah melakukan penelitian tentang Jawa selama bertahun-tahun. Penelitiannya meliputi kesenian dan sastra Jawa kuno (altjavanische Kunst und Literatur). Ia juga sudah banyak mengunjungi candi-candi dan relief di Yogyakarta dan Jawa Timur.

Berlibur ke Bali, jatuh cinta dengan Jawa

Namun bagaimana awalnya Lydia bisa tertarik dengan Indonesia? Dulu ia selalu punya keinginan untuk pergi ke India, tetapi tidak jadi. Suatu hari ada seorang teman mengajaknya pergi berlibur ke Bali.

"Ayo, di Bali ada agama Hindu, di sana mungkin kayak miniatur India," ujarnya menirukan sang teman. Saat berada di Pulau Dewata, ia juga mendengar tentang Jawa dan candi-candi yang berdiri di sana. Karena ingin tahu lebih banyak lagi, ia pun pergi ke Jawa.

“Ke Borobudur, ke Prambanan. Terus tertarik dengan relief. Ya dan Jawa akhirnya menjadi lebih penting bagi saya daripada Bali," tutur perempuan yang fasih berbahasa Indonesia itu.

Tersentuh dengan pesan kesederhanaan Panji

Lydia melihat relief Panji yang berada di Jawa Timur untuk pertama kalinya saat naik ke Gunung Penanggungan. Waktu melihat relief tersebut, Lydia teringat akan kata-kata seorang gurunya di Universitas Gadjah Mada, ‘‘kapan-kapan nanti kamu teliti Panji,” tuturnya sambil menunjuk foto relief Panji. "Jadi seperti ada utusan? Atau pesan? Pesan dalam dari guru itu,” ujar perempuan yang juga pernah meneliti tentang Arjunawiwaha ini.

Awalnya ia hanya menyukai reliefnya. Berbeda dengan Rama atau Arjuna, Panji berasal dari Jawa dan sederhana. Kesederhanaan, yang merupakan inti dari kisah Panji itulah yang membuatnya mendalami kisah tersebut. Sebuah pesan yang menyentuh hatinya.

"Panji sendiri juga… dia berkelana di desa-desa. Bisa bertahun-tahun hidup di desa membantu para petani. Ya dan kesederhanaan itu, memang sangat menyentuh," paparnya.

Selain itu pesan seperti belajar tidak putus asa, terus berusaha untuk meraih suatu tujuan dan kemampuan untuk mengatasi banyak halangan juga termasuk sebagai hal-hal yang bisa dipelajari dari cerita Panji.

Lika-liku perjalanan penelitian

Lydia memulai penelitiannya tentang Panji tahun 1996, namun perjalanannya tidaklah mulus. Pada saat itu ia masih harus bekerja, mencari uang, lalu pernah juga jatuh sakit. Rasa putus asa pun melanda dirinya.

Ia sempat berpikir bahwa disertasinya tidak akan selesai. Tapi berkat dukungan teman-teman ia kembali bangkit – seperti inti kisah Panji. Ia meneruskan usahanya meski menghadapi rintangan.

Suatu hari Lydia mendapatkan tawaran dari Universitas Sydney. Ia juga berkenalan dengan Profesor Adrian Vickers, peneliti Panji di Bali. ‘‘Kami berkenalan dan dia mendukung…terus dia mengurusi saya dapat beasiswa di sana. Akhirnya saya 2,5 tahun di sana bisa konsentrasi hanya pada itu saja. Maka itu saya berhasil," ceritanya.

Berbagi ilmu untuk orang Jerman dan Indonesia

Tidak hanya meneliti, Lydia juga menyalurkan pengetahuannya tentang Jawa baik di terhadap orang Jerman maupun Indonesia. Di Goethe Universität Frankfurt, ia pernah mengajar Bahasa Indonesia dan seminar tentang Indonesia, khususnya Jawa, selama lima tahun. Selain itu ia juga bekerja sebagai dosen lepas di Universitas Bonn.

‘‘Selalu tentang budaya Indonesia atau Jawa termasuk Panji, termasuk museologi, termasuk kesenian…ada kesenian macam-macam. Pokoknya selalu ada kaitan dengan cultural heritage, warisan budaya," jelasnya.

Ketika ditanya tentang antusiasme mahasiswa Jerman, ia bercerita bahwa mereka sangat tertarik dan aktif mengambil inisiatif untuk membuat makalah atau presentasi. Hal itu membuatnya kagum terhadap para mahasiswa. "Ternyata ya mereka juga, gimana ya, merasakan antusiasme saya, jadi seperti mereka ketularan,” tuturnya sambil tertawa.

Namun menjelaskan dan menceritakan budaya Indonesia kepada orang Indonesia tentu menjadi hal yang sedikit aneh baginya. "Kalau di Indonesia…Saya dulu sering merasa malu, bagaimana saya sebagai orang asing kasih tahu tentang budaya Jawa sendiri… Maka itu saya sering ah malah menolak waktu saya ditawarkan,” jelasnya.

Namun lama-kelamaan ia mengerti bahwa apa yang ia lakukan ini berguna dan merupakan suatu bentuk timbal-baliknya. "Saya dapat banyak dari budaya Jawa, jadi saya juga bersedia mengembalikan, menyampaikan pengetahuan saya,” jelasnya. Ia juga menceritakan reaksi orang-orang yang mengatakan padanya bahwa mereka merasa malu lantaran tidak terlalu tahu tentang budaya sendiri – sebuah reaksi yang juga ditunjukkan oleh warga Indonesia di Jerman.

Pertunjukkan yang ia lakukan bersama teman-teman juga merupakan cara lain untuk menyampaikan pengetahuannya tentang budaya Jawa. "Jadi tidak cuma saya vortrag (presentasi), kering ya. Lebih puitis," tutur perempuan yang belajar macapat di UGM ini.

Pertunjukkan ini mereka tampilkan pertama kali di sebuah acara kebudayaan yang diselenggarakan oleh PPI di Jerman di kota Duisburg. Rencananya mereka ingin menawarkan penampilan serupa di acara lainnya.

Indonesia bukan hanya Bali, dan bukan hanya Jawa

Mereka yang kurang tahu tentang Indonesia biasanya cenderung mengasosiasikan negara ini dengan Bali. Menurut Lydia itu adalah imbas promosi dari tanah air. "Ya.. itu memang juga dari promosi Indonesia sendiri. Indonesia itu bikin promosi tentang Bali. Pariwisata, selalu mau ke Bali, Bali, Bali," tuturnya.

Penting untuk memperkenalkan Indonesia secara luas. "Jangan hanya Jawa, saya sendiri juga Jawa-sentris ya. Itu orang sering bilang oh jangan cuma Jawa saja. Indonesia lebih banyak...,” paparnya. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika” lah yang menurutnya harus disampaikan.

Terbatasnya pengetahuan orang-orang tentang Indonesia juga ia kaitkan dengan ruang lingkup akademis. Menurutnya, memang banyak jurusan dan kajian tentang Asia Tenggara, namun sayangnya, pengetahuan tersebut hanya berada dalam lingkungan universitas saja. Orang-orang yang datang ke acara kebudayaan Indonesia di Jerman pun biasanya adalah mereka yang sudah tahu tentang Indonesia.

Masih ingin meneliti Jawa? Atau daerah lain?

Menyebut diri sendiri sebagai Jawa-sentris, Lydia mengaku belum punya rencana untuk meneliti daerah lain. Sempat terbesit di pikirannya apakah ini sudah saatnya untuk selesai dengan Jawa.

"Akhirnya saya ke Jawa bulan Juli. Ah tiba-tiba ada banyak ide lagi, masih banyak hubungan dan ini masih terus. Ya ini pribadi. Orang lain juga bisa ya meneliti tentang hal lain," tutur perempuan yang masih sering bolak-balik ke Jawa ini.

Ed: ae