Peraturan WNI Keturunan Tak Mungkin Punya Hak Milik Tanah Digugat

- Antara/Andreas Fitri Atmoko
Sumber :
  • bbc

Seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) mengajukan permohonan uji materi mengenai keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ke Mahkamah Konstitusi yang membuat warga Indonesia keturunan Tionghoa tidak bisa mendapat hak kepemilikan tanah di Yogya.

Apa yang diajukan?

Dalam permohonan yang diterima MK pada 15 November lalu, Felix Juanardo Winata, seorang mahasiswa Fakultas Hukum UGM, pengujian Pasal 7 ayat (2) Huruf d Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang mengatur kepemilikan tanah ke Mahkamah Konstitusi.

Pasal 7 ayat (2) huruf d UU Keistimewaan DIY berbunyi: "Kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: d. pertanahan".

Lantas, bagaimana imbasnya?

"Pemberlakuan Pasal a quo (tersebut) telah memberikan kewenangan Keistimewaan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam mengurus bidang pertanahannya sendiri, secara nyata telah menciptakan kesewenang-wenangan dalam menentukan suatu kebijakan yang berkaitan dengan urusan pertanahan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta," tulis Felix dalam alasan permohonannya yang tertera pada laman MK.

Menurut dia, pemberlakuan pasal tersebut telah menyebabkan WNI berketurunan Tionghoa tidak dimungkinkan untuk menguasai suatu hak atas tanah dengan status hak milik di wilayah DIY.

"Karena pemberlakuan Pasal a quo telah memberikan legitimasi bagi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk tetap memberlakukan Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah seorang WNI non pribumi," sebutnya.

Mengapa instruksi itu menjadi kontroversi?

Instruksi 1975, Instruksi Wagub DIY 1975, atau Instruksi 898/1975 adalah sebuah surat instruksi yang dibuat oleh Paku Alam VIII yang memerintahkan agar tidak memberikan milik tanah kepada warga negara non-pribumi meliputi "Europeanen" (Eropa/kulit putih); "Vreemde Oosterlingen" (Timur Asing) yang meliputi orang Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lain di DIY dan hanya boleh diberikan hak guna.

Pemberlakuan pasal tersebut, menurut Felix dalam permohonannya, menyebabkan adanya "perilaku diskriminatif atas dasar ras dan suku terhadap WNI berketurunan Tionghoa" karena tidak dimungkinkannya WNI keturunan Tionghoa menguasai suatu hak atas tanah dengan status hak milik di wilayah Yogyakarta.

Padahal, Felix menjelaskan, Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebutkan bahwa hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.

Kemudian Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 1960 ini menyebut bahwa hak milik hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia (WNI).

"Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat berketurunan Tionghoa sepanjang merupakan WNI berhak untuk menguasai suatu tanah dengan status hak milik," tuturnya dalam permohonannya.

Apakah gugatan ini adalah yang pertama?

Handoko, seorang WNI keturunan Tionghoa, pernah menggugat Instruksi Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah Kepada Seorang WNI Non Pribumi ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta.

Namun, melalui putusan Nomor 179K/TUN/2017, PTUN Yogyakarta menyatakan tidak bisa mengadili karena instruksi tersebut bukan merupakan diskresi.

Handoko juga telah mendaftarkan permohonan pengujian uji materi instruksi tersebut ke Mahkamah Agung dalam perkara Nomor 13 P/HUM/2015.

Akan tetapi, MA menolak karena instruksi itu bukan merupakan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang berasarkan rezim hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juncto Pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.

Adakah desakan lain?

Tahun 2011, misalnya, Gerakan Nasional Anti Diskriminasi mengirim surat kepada presiden terkait masalah kepemilikan tanah ini dan mendapat tanggapan yang isinya adalah agar tidak ada perbedaan layanan pengurusan sertifikat tanah antara warga negara pibumi dan nonpribumi.

Namun `perintah` pusat itu ditepis Pemda DI Yogyakarta.

Surat keterangan Pemprov DI Yogyakarta pada 8 Mei 2012 No.593/00531/RO.I/2012 menyebut: "Instruksi Kepala daerah DIY No. K.898/1975 sampai saat ini masih berlaku dan merupakan affirmative policy yang tujuannya untuk melindungi warga pribumi agar kepemilikan tanah tidak beralih kepada warga atau pemodal yang secara finansial memiliki kemampuan lebih atau kuat".

Komnas HAM, pada tahun 2012, juga menyatakan Instruksi 1975 bertentangan dengan hak asasi manusia dengan alasan tidak semua warga negara keturunan Tionghoa memiliki latar belakang ekonomi kuat.

Dan pada awal Februari 2018, Ombudsman RI Perwakilan DIY atau ORI menyatakan bahwa pemberlakuan Instruksi 1975 adalah maladministrasi dan tindakan diskriminatif terhadap pelayanan pengurusan tanah.

Laporan ORI DIY tersebut didasari pada laporan warga etnis Tionghoa yang tidak bisa mengurus hak kepemilikan tanah di BPN Kota Yogyakarta, BPN Kabupaten Kulonprogo, dan BPN Kabupaten Bantul.

Bagaimana reaksi Gubernur DIY?

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X, menganggap pengajuan gugatan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY oleh Felix Juanardo Winata ke MK sebagai hal yang wajar.

"Ya nggak apa-apa. Tidak apa-apa, ya wajar saja. Dasarnya apa nanti kan alasannya sendiri ada," kata Sultan Hamengku Buwono X di Kantor Kepatihan, Yogyakarta, Rabu (20/11) sebagaimana dikutip kantor berita Antara .

Mengenai gugatan itu, Sultan yang juga Raja Keraton Yogyakarta mengaku belum tahu apakah Pemda DIY akan menyiapkan upaya hukum atau tidak.

"Ya belum tahu. Kita belum tahu. Tidak ada yang menghubungi," kata Sultan.