Ingin Gaya Tapi Bokek? Intip Tantangan Finansial Generasi Milenial

Reuters/Kim Hong-Ji
Sumber :
  • dw

Generasi milenial kian berumur, mereka tak lagi berkutat dengan bangku kuliah. Menurut definisi yang banyak disepakati, generasi milenial adalah mereka yang lahir dari tahun 1981 hingga 1996.

Artinya mereka kini berumur antara 24 hingga 39 tahun. Generasi ini disebut-sebut sebagai generasi yang memiliki gaya hidup berbeda dengan pendahulunya. Mereka memiliki gaya hidup yang sangat dinamis.

Generasi ini hidup dalam kekinian, yang kebanyakan hidup dengan prinsip menikmati hidup hari ini ‘you only live once' dan selalu khawatir ketinggalan atau ‘fear of missing out'. Pengalaman, misalnya, menjadi keutamaan bagi generasi milenial. Karena itu mereka lebih memilih berkelana keliling dunia daripada menabung membeli rumah di atas sebidang tanah. Generasi ini juga identik dengan kemudahan akses informasi akibat kemajuan teknologi serta beragam kemudahan.

Setiap generasi memiliki tantangan finansial, hanya saja menurut beberapa studi, generasi milenial ternyata cenderung lebih kesulitan secara finansial. Menurut Wall Street Journal, data terbaru menunjukkan generasi milenial berada dalam kondisi finansial yang jauh lebih buruk daripada generasi sebelumnya yang masih hidup.

Menurut pendapat umum, penyebabnya karena generasi milenial bermental manja; orangtua membesarkan mereka dengan cara yang jauh lebih lunak dibandingkan generasi terdahulu. Selain itu, generasi milenial juga dimanjakan dengan hidup dalam masa revolusi teknologi. Segala sesuatu tersedia seketika, akibatnya generasi milenial cenderung tak peduli dengan perencanaan jangka panjang dalam banyak hal, termasuk soal keuangan.

Enggan menikah dan berkeluarga

Generasi milenial juga tak buru-buru ingin berkeluarga. Mereka lebih fokus pada kepentingan diri sendiri. Sebagai gambaran, di Amerika Serikat, 30 persen usia dewasa muda mengaku urusan finansial merupakan faktor utama dalam mengambil keputusan untuk berkeluarga, demikian laporan dari Bank of America. Menurut survei yang dilansir Pew Research Center 2017, pada 2016 hanya 48 persen perempuan berusia 18-33 tahun yang mengemban peran sebagai ibu. Angka ini menurun cukup tajam, yakni sebesar 57 persen, dari generasi sebelumnya.

Inilah generasi yang disebut-sebut sebagai generasi enggan menikah. Mereka generasi pertama yang meletakkan pernikahan dan keluarga sebagai prioritas kedua setelah kesuksesan profesional.

Di Amerika Serikat, median usia mereka yang menikah pertama kali saat ini adalah 27 tahun untuk perempuan dan 29 tahun untuk laki-laki. Angka ini mengalami perubahan besar dari 20 tahun untuk perempuan dan 23 tahun untuk laki-laki di tahun 1960. Pew Research bahkan merilis data, 25 persen dari generasi milenial diperkirakan tidak akan pernah menikah. Di Amerika Serikat, angka ini merupakan angka paling tinggi dalam sejarah. Keinginan untuk menikah memang menurun drastis sejak beberapa tahun lalu.

Keengganan menikah disebabkan oleh alasan finansial. Selain karena urusan finansial, penolakan terhadap pernikahan juga terjadi karena generasi milenial menjadi saksi begitu banyaknya pernikahan gagal di sekeliling mereka.

Sekian banyak generasi milenial adalah produk gagal pernikahan, mereka tumbuh dalam lingkungan yang rentan perceraian dan cekcok dalam pernikahan. Karena itu tak bisa disalahkan generasi milenial memandang pernikahan sebagai investasi buruk. Daripada menggantungkan kebahagiaan pada pernikahan, lebih baik memfokuskan diri pada karier yang memberi kepuasaan dan pemenuhan kebutuhan finansial.

Melajang tetap tak stabil secara finansial

Namun yang sering terjadi, menunda pernikahan tak menjadikan kondisi finansial generasi milenial membaik. Justru, keinginan mereka untuk lebih stabil secara finansial sebelum menikah jarang tercapai. Menurut survei Charles Schwab, hanya 38 persen milenial yang stabil secara finansial, selebihnya hidup pas-pasan.

Meskipun demikian, generasi milenial tetap rajin mengadopsi gaya hidup konsumtif dengan memenuhi kebutuhan nonesensial seperti makan di restoran, hiburan, belanja barang mewah, dan liburan.

Karena hanya fokus pada diri sendiri, mereka terjebak dalam pemenuhan kebutuhan pribadi yang cenderung konsumtif. Akibatnya meskipun memiliki penghasilan tinggi, banyak yang belum stabil secara finansial.

Dengan kondisi demikian pada akhirnya benar mereka tak mampu untuk menikah apalagi memiliki anak. Mungkin yang dilupakan adalah menghindari pernikahan karena alasan finansial tak selalu tepat. Karena sejatinya dua orang yang bekerja sama mampu menciptakan beragam stabilitas, dari emosi hingga urusan finansial. Banyak studi yang mengamini bahwa pasangan yang menikah lebih baik secara emosional, finansial, bahkan lebih bahagia.

Di Amerika Serikat, penyebab persoalan finansial generasi milenial tak hanya urusan konsumerisme. Generasi milenial juga diuji dengan isu-isu finansial yang sistemik, seperti beban pinjaman mahasiwa. Di Indonesia, meskipun umumnya anak-anak bergantung pada orangtua dalam pembiayaan studi, namun di masa depan mereka diharapkan memberikan kontribusi finansial pada orangtua.

Kultur membalas budi jasa orangtua dengan berkontribusi secara finansial ini memberikan beban finansial yang tidak sedikit. Selain itu meroketnya harga-harga setiap tahunnya menjadi salah satu tantangan yang sulit diatasi generasi milenial. Kenaikan harga rumah yang meroket terutama di wilayah urban, misalnya, tak sebanding dengan kenaikan gaji yang diterima.

Apa yang harus dilakukan?

Ada banyak nasihat dan trik keuangan yang bisa diberikan pada generasi milenial, semuanya berujung pada kebutuhan untuk melek finansial. Di antaranya, untuk memastikan ada sisa uang lebih dari gaji yang diterima setiap bulannya. Bila gaji ternyata masih pas-pasan tanpa sisa juga, cobalah temukan biaya apa yang masih mungkin bisa dipangkas.

Lebih jauh, bila telah memungkinkan sisakan gaji untuk ditabung, minimal sebesar jumlah tiga bulan gaji. Tabungan ini ditujukan untuk kebutuhan darurat. Ketika situasi finansial makin membaik bisa menabung lebih banyak.

Yang juga wajib dilakukan adalah menyiapkan dana pensiun. Apalagi untuk generasi milenial yang enggan memiliki anak, kebutuhan ini makin penting. Investasikan dana cukup untuk masa depan, karena jelas tak ada yang bisa diminta memberikan kontribusi finansial seperti yang sering dilakukan oleh orangtua tradisional dari generasi-generasi sebelumnya.

Jika telah memasuki tahapan memiliki dana lebih, mulailah belajar berinvestasi. Patut dicatat generasi milenial lebih mudah mengakses lembaga keuangan.

Gampang bagi generasi milenial mempelajari sektor keuangan dan berinvestasi. Cukup dengan gadget dan internet, mereka bisa berinvestasi. Yang perlu diingat, lakukan investasi dalam beragam bentuk. Untuk mengurangi risiko, jangan hanya memusatkan pada satu macam investasi saja. Selain itu, jangan malas melakukan investasi yang lambat dan memberikan keuntungan kecil. Meskipun kelihatannya tak seberapa, investasi jenis ini aman dan nyaris tak berisiko. Tahapan selanjutnya adalah memiliki aset atau bisnis kecil, seperti membeli rumah kedua, dan sebagainya.

Tentunya tak semua nasihat keuangan bisa diaplikasikan. Setiap orang memiliki situasi berbeda dengan penanganan finansial yang berbeda pula. Sebaiknya temukan formula dan strategi yang tepat bagi diri sendiri. Yang terpenting adalah mencapai keseimbangan antara perencanaan finansial dan kebutuhan menikmati hidup. Adalah baik menikmati setiap hari dengan sepenuh hati, baik pula untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya pengalaman hidup yang seringkali membutuhkan uang untuk mendapatkanya. Namun harus tetap dipikirkan keseimbangan antara kebutuhan hari ini dan masa depan.

@sheknowshoney bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Anda dapat berbagi opini di kolom komentar di bawah ini.