Kaum Miskin Filipina Harus Berjuang Sendiri di Tengah Krisis Corona

Reuters/D. Tawatao
Sumber :
  • dw

Dambie Reyes Estremos adalah pemulung sampah yang tinggal di Los Baños, sekitar 63 kilometer di tenggara Manila. Selama ini dia mencari nafkah dengan menjual apa yang dia temukan di antara tumpukan sampah di distrik Timugan.

Pada masa normal, Dambie bisa mendapat sekitar 1.000 peso atau senilai 300 ribu Rupiah per minggu untuk menghidupi dia dan keempat anaknya. Tetapi sejak pemerintah Filipina menerapkan lockdown di seluruh pulau Luzon 16 Maret lalu untuk meredam wabah corona, dia dan banyak pekerja informal lain di Filipina kehilangan sebagian besar pendapatannya.

Para pemulung memang masih bisa mengumpulkan sampah, tetapi tidak bisa menjualnya lagi. Jadi Dambie mengumpulkan sebanyak mungkin yang bisa dia simpan, dan berharap suatu saat nanti dia bisa menjualnya, kalau lockdown sudah dicabut. Tapi itu berarti, dia sekarang tidak bisa membeli apa-apa.

"Yang kami butuhkan adalah beras, kopi, dan gula untuk melawan kelelahan dan bekerja sepanjang hari," kata Dambie kepada DW. Dia juga minta otoritas lokal membagikan masker wajah, sarung tangan dan vitamin kepada para pemulung sampah di kawasan itu. Awal April, pemerintah Filipina mewajibkan penggunaan masker wajah di luar rumah.

Kemiskinan meluas

Kebijakan lockdown memang mengancam kehidupan sekitar 11 juta pekerja dan pencari nafkah di sektor informal, kata Yayasan IBON, sebuah kelompok riset nirlaba Filipina. Semua toko dan jenis usaha yang dianggap "tidak penting" harus ditutup selama lockdown. Akibatnya, para pekerja kasar kehilangan nafkah.

Memang masih ada pekerja informal yang tetap bisa bekerja, seperti petugas keamanan dan petugas pemeliharaan. Tapi mereka sulit menemukan transportasi umum untuk mencapai tempat kerjanya.

Melisa Serrano, direktur Center for Labor Justice, University of the Philippines, mengatakan banyak yang terpaksa menggunakan tabungan mereka yang terbatas, atau meminjam uang, atau terpaksa bertahan hidup dengan barang apa pun yang tersisa.

Penduduk kawasan kumuh di kota-kota besar di Filipina masih menunggu bantuan makanan yang dijanjikan pemerintah, namun penyalurannya tertunda. Warga kawasan kumuh Sitio San Roque di Quezon City awal April sampai menggelar aksi protes sekalipun ada lockdown. karena bantuan bahan pokok tidak kunjung tiba.

“Tidak ada bantuan, tidak ada makanan, tidak ada sarana”

Sherillyn Raga, periset senior di Overseas Development Institute yang berbasis di London, mengatakan kepada DW bahwa pemerintah Filipina sejauh ini telah memutuskan paket bantuan uang tunai kepada sekitar 4 juta keluarga miskin dan pekerja yang dirumahkan sejak penutupan. Tetapi masih ada sekitar 13,8 juta warga miskin, yang sebagian besar tergantung pada sektor informal, belum menerima bantuan apa pun.

Selain itu, sistem kesehatan Filipina "tidak mampu menangani pandemi corona," kata Neen Sapalo, peneliti kemiskinan kawasan perkotaan di University of the Philippines Diliman. Dia menerangkan, sebelum lockdown pemerintah sudah memangkas dana untuk fasilitas kesehatan publik. Sebagian besar warga harus membayar sendiri untuk mendapatkan layanan kesehatan dasar.

Neen Sapalo mengatakan, banyak warga Filipina tidak akan menolak penerapan lockdown, jika bantuan darurat bisa sampai kepada masyarakat tepat waktu. Tetapi yang terjadi adalah, "tidak ada bantuan, tidak ada makanan, tidak ada sarana untuk bertahan hidup” bagi keluarga miskin dan rentan miskin. (hp/rzn )