Australia Kehilangan 50 Ribu Backpacker, Bagaimana Peluang WNI?

Delanera Bianca Margaretha mahasiswa asal Indonesia yang sedang kuliah sambil bekerja di Melbourne
Sumber :
  • abc

Akibat pembatasan kedatangan ke Australia, pekerjaan yang biasanya terisi backpacker menjadi kosong. Tapi tetap saja bagi sejumlah "backpacker" tidaklah mudah mendapatkan kerja di tengah pandemi virus corona.

Seperti yang dijelaskan oleh Erick Tjendrawira, yang sudah enam bulan berada di Australia menggunakan visa Work and Holiday (WHV).

Erick merasa beruntung masih bekerja di sebuah pabrik makanan yang memproduksi protein bar, sejenis makanan ringan.

"Sebenarnya pekerjaan di Australia banyak sebelum ada COVID-19. Tetapi gara-gara situasi COVID-19 agak susah untuk cari pekerjaan," katanya.

Erick mencontohkan, sebelum masa pandemi, ia menemukan banyak lowongan pekerjaan di Facebook group yang ia ikuti.

Erick Tjendrawiria masih bekerja di sebuah pabrik pembuat makanan di Melbourne (Foto: Supplied)

Kini, menurutnya, yang terjadi justru sebaliknya.

"Sekarang malahan orang-orang mencari kerjaan di group," kata Erick kepada Sastra Wijaya dari ABC Indonesia.

Dari pengamatannya, sekarang banyak pemegang WHV yang sebelumnya bekerja di kota-kota besar, beralih ke daerah regional atau pedesaan untuk bekerja di bidang pertanian.

"Karena kondisi pekerjaan di kota kurang stabil," menurutnya.

Erick mengatakan bekerja di industri produksi makanan selama empat bulan terakhir juga mengalami naik turun.

"Dari Maret sampai Juni kemarin pabrik saya sibuk sekali, biasa dapat 4 sampai 5 hari kerja dalam seminggu," tuturnya.

Tapi sejak awal Juni lalu ia mengaku jadwal kerjanya berkurang, karena menurutnya "panic buying" yang mulai berkurang.

"Shift kerja saya sekarang menjadi satu sampai tiga hari kerja," jelasnya.

Untuk mengantisipasi kondisi pekerjaannya ini, Erick sempat berpikir untuk kembali ke wilayah regional, karena ia pernah memiliki pengalaman kerja sebelumnya di sektor pertanian di negara bagian Victoria dan Queensland.

"Kemarin sempat kepikiran mau balik ke farm, tetapi manajer dari pabrik tiba-tiba telepon saya, [menanyakan] apakah bisa kerja dalam periode Juni tetapi shift berkurang," katanya yang mengurungkan niatnya ke pertanian.

Pemerintah Australia akan mengkaji lapangan kerja

Sektor pertanian di Australia adalah salah satu sektor yang merasakan dampak dari pandemi COVID-19.

Kini pemerintah Australia sedang membentuk tim di parlemen untuk membantu sektor pertanian, juga sektor lainnya, seperti kesehatan dan pariwisata, agar bisa bangkit kembali.

Salah satu fokus dari tim tersebut adalah menyelidiki jumlah pekerjaan yang lowong akibat berkurangnya para backpackers yang datang selama pandemi.

Menurut perkiraan, setidaknya ada kekurangan hingga 50 ribu "backpackers" atau yang biasa disebut sebagai pemegang "Work and Holiday Visa" (WHV), akibat pembatasan perjalanan internasional saat ini.

Pemerintah akan berusaha untuk melihat lebih lanjut apakah lowongan pekerjaan yang ditinggalkan oleh para backpackers tersebut bisa diisi oleh warga Australia sendiri.

Hal ini mengingat angka pengangguran di Australia akibat pandemi diperkirakan akan naik menjadi 10 persen.

Anggota parlemen dari Partai Nasional Julian Lesser akan memimpin komisi peyelidikan parlemen tersebut.

"Ketika nantinya perbatasan dibuka lagi, para backpacker itu akan mengisi pekerjaan yang biasanya tidak bisa diisi oleh para pekerja Australia, khususnya di kawasan regional," kata Julian.

Dengan begitu banyaknya warga Australia yang tidak bekerja, komisi ini akan mengkaji apakah warga Australia yang menganggur bisa berkerja di tempat-tempat yang biasanya diisi oleh para backpackers atau mahasiswa internasional.

Namun, di sisi lain, juru bicara Federasi Pertanian Australia (VFF, Emma Germano merasa heran mengapa pemerintah dan parlemen Australia kembali membentuk komisi penyelidikan terkait "Work and Holiday Visa".

Dia mengatakan sejauh ini banyak industri di Australia hanya mengandalkan "backpacker" karena memang tidak ada alternatif lain yang tersedia.

"Industri kami sudah membuat berbagai rekomendasi untuk meningkatkan program WHV sehingga bisa membantu, dan menciptakan perlindungan memadai bagi pekerja dan majikan." katanya.

Sejauh ini program "Work and Holiday Visa" memberikan sumbangan senilai Rp30 triliun bagi perekonomian Australia setiap tahunnya.

Selain pemegang WHV, mahasiswa internasional juga menjadi salah satu tenaga kerja yang biasanya memanfaatkan peluang kerja di Australia, termasuk pada masa pandemi.

"Tetap kerja, malah bertambah"

Retha, nama panggilan dari Delanera Bianca Margaretha, sekarang sedang menempuh pendidikan di bidang bisnis di Melbourne.

Retha yang berasal dari Blitar, Jawa Timur ini di sela-sela kuliahnya juga bekerja sebagai "cleaner", atau petugas kebersihan di sebuah pusat perkantoran di Collins St di kawasan kota Melbourne.

Selama empat bulan terakhir di masa pandemi ini, Retha masih bekerja.

Ia merasa beruntung masih bisa bekerja, mengingat banyak kantor yang karyawannya sebagian besar bekerja dari rumah.

"Ya selama pandemi saya tetap bekerja, dan pekerjaan juga malah bertambah."

"Biasanya cuma general cleaning di hari kerja, sekarang bertambah general cleaning di hari kantor dan deep cleaning di akhir pekan." kata Retha kepada wartawan ABC Sastra Wijaya.

Pada awalnya, Retha sempat khawatir dia akan kehilangan pekerjaan, karena kantor yang biasanya ia bersihkan sudah menjalankan work from home.

Namun, menurutnya, di kantor tersebut masih ada 2-3 orang yang bekerja setiap harinya sehingga tetap harus ada orang yang membersihkan kantor.

"Jam kerja saya sesuai kontrak sebenarnya jam 15.00 sampai 1900 setiap hari. Tapi karena di jam segitu tidak ada yang bekerja saya jadi dialihkan jam 17.30 sampai 21.30 malam."

Dari sejumlah tenaga kebersihan di kantor tersebut, Retha menjadi salah satu yang masih diperbolehkan bekerja karena faktor usia.

"Banyak cleaner yang sudah berusia 50 tahunan keatas dianjurkan untuk ambil cuti tahunan karena untuk menjaga kesehatan mereka juga."

Bekerja sebagai tenaga kebersihan, Retha mengaku tidak malu atau gengsi.

"Saya tidak merasa gengsi. Karena saya memang hobi bersih-bersih, justru malah jadi peluang buat saya dapat hobi yang dibayar," katanya lagi.

Bahkan, karena pekerjaannya inilah sudah setahun belakangan ini Retha mengaku sudah mandiri dan tidak lagi mengandalkan kiriman dari orang tua untuk biaya hidup dan bayar uang kuliah.