Mobil Kiat Esemka Butuh Pendamping

Sukiyat, pelopor Kiat Esemka
Sumber :
  • Fajar Sodiq| Solo

VIVAnews - Untuk mewujudkan keinginan besar Indonesia mempunyai mobil nasional, Kiat Esemka membutuhkan industri besar untuk menjadi pendamping agar bisa masuk dalam industria massal.

Hal tersebut ditegaskan Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, A Tony Prasetianto Ph.D, dalam Seminar Bisnis "Menyongsong Prospek Bisnis 2012" di Semarang, Jawa Tengah, Kamis, 12 Januari 2012.

Menurut Tony, Indonesia pernah memiliki trauma besar terhadap keberadaan mobil nasional yang pernah diprogramkan sejak lama. Selain badan kendaraan yang kurang bagus, proses pengadaan bahan baku juga masih dikenakan pajak.

Namun, khusus terhadap produk Kiat Esemka, Tony menilai kendaraan roda empat karya pelajar SMK tersebut terbilang bagus dan menjual.

Tony malah mengaku khawatir, mobil karya anak bangsa ini hanya akan sia-sia karena tak adanya kalangan industri yang bersedia menjadi pendamping. "Jika tidak ada industri besar yang menjadi pendamping, seperti Bakrie Group, semua akan sia-sia. Mereka hanya paham membuat tapi bukan mengindustri," kata Tony.

Sementara itu, meski mendukung potensi dari pelajar SMK dengan mobil rakitannya, pengusaha dari kelompok Bakrie, Anindya Novyan Bakrie, mengatakan pihaknya tidak ingin gegabah dalam mengembangkan Kiat Esemka menjadi mobil nasional.

"Mimpi memang harus selalu ada untuk memiliki Mobil Nasional. Namun juga harus dikaji lebih jauh apakah mereka mampu untuk memproduksi secara efisien. Intinya harus dilihat visibility study-nya," papar Anind.

Diakui Anindya, kelompok bisnis Bakrie memang pernah berencana memproduksi mobil buatan lokal beberapa tahun lalu. Namun rencana tersebut terhenti oleh badai krisis moneter. Sementara untuk memulai kembali rencana tersebut dari awal, diakui Anindya, akan membutuhkan waktu yang cukup panjang.

"Terlepas dari itu, kami sangat apresiatif dengan karya pelajar-pelajar tersebut, dan berharap karya mereka tidak terhenti hanya sampat disitu," tegasnya.

Laporan : Puspita Dewi | Semarang, umi