Gugat KUHAP, Antasari Azhar Hadirkan Yusril Ihza Mahendra

Antasari Azhar mengikuti sidang pemeriksaan pendahuluan di MK.
Sumber :
  • ANTARA/Prasetyo Utomo
VIVAnews -
Mantan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, menilai hak terpidana untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) hanya satu kali dinilai bertentangan dengan asas keadilan. Pakar hukum itu dihadirkan pemohon pengujian KUHAP soal PK, Antasari Azhari, di Mahkamah Konstitusi, Rabu 15 Mei 2013.


Dalam keterangannya sebagai ahli dalam sidang itu, Yusril menyatakan, "Kalau memang ditemukan adanya novum yang sungguh-sungguh meyakinkan, mengapa kita harus mempertahankan norma yang menyatakan bahwa PK hanya berlaku satu kali dalam perkara pidana."


Dalam kasus pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, kata Yusril, putusan pengadilan atas Antasari Azhar, jika dilihat dari sudut kepastian hukum sudah pasti, Tetapi jutaan orang di luar pengadilan mengatakan bahwa Antasari tidak dihukum dengan keadilan, melainkan kezaliman.


"Akankah kita membiarkan Antasari mendekam 18 tahun di penjara, meskipun dia mempunyai novum untuk dibawa ke persidangan? Pintu keadilan telah ditutup atasa nama kepastian hukum," ujar pakar hukum tata negara itu.


Oleh karena itu, lanjutnya, jika MK mengabulkan permohonan ini, Yusril meminta agar PK bisa dilakukan lebih dari satu kali, tapi hanya berlaku untuk perkara pidana saja.


Antasari yang juga mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan uji materiil mantan Pasal 268 ayat (3) UU KUHAP. Antasari menilai pasal ini menutup ruang untuk mengajukan Peninjauan Kembali lebih dari sekali.


Pemerintah dan DPR
Pendapat berbeda justru muncul dari pemerintah. Menurut pemerintah, pembatasan pengajuan PK dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum atas penyelesaian suatu perkara. Pembatasan ini juga sejalan dengan proses peradilan dengan asas sederhana, cepat, dan ringan biaya.


"Tidak adanya pembatasan dapat menyebabkan perkara tidak pernah selesai, dan menunda tegaknya keadilan bagi pencari keadilan itu sendiri, karena novum bisa mengubah putusan PK yang telah ada sebelumnya," kata Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi.


Terkait permohonan Antasari yang meminta agar korban atau ahli waris dapat mengajukan permintaan PK, pemerintah berpendapat hal tersebut dapat merusak tatanan sistem hukum pidana dan penyelenggaraan peradilan pidana.


"Itu juga dapat memberatkan terpidana atau ahli warisnya karena PK kan melahirkan dua kemungkinan putusan yakni memperingan terpidana atau memberatkan ahli warisnya," ungkap dia.


Senada dengan pemerintah, DPR menilai permintaan PK yang tidak dibatasi justru dapat merugikan pencari keadilan karena pemeriksaan perkara menjadi panjang. Meski demikian, DPR tetap memberi celah jika ditemukan bukti baru. "Harus dibuka peluang pengajuan PK untuk kedua kalinya," kata anggota Komisi III Ahmad Yani.


Keputusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi ini nantinya akan dijadikan bahan dalam Rancangan Undang-Undang KUHP yang saat ini sedang digarap oleh DPR dan pemerintah.


"Dalam perubahan KUHP itu tetap akan memberikan ketegasan bahwa PK hanya hak terpidana dan ahli waris, dan itu tidak hanya satu kali bisa mengajukan PK," kata Ahmad Yani.