"Matinya" Proyek Trade Centre di Jakarta
Kamis, 18 Juli 2013 - 10:43 WIB
Sumber :
- www.simasred.com
VIVAnews - Beberapa tahun belakangan, banyak sekali pusat perbelanjaan dengan metode trade centre muncul di kota-kota besar seluruh Indonesia. Proyek ini tentunya amat menarik bagi pengguna ataupun investor.
Baca Juga :
Sebab, sejak konsep ini mulai diperkenalkan, hampir setiap wilayah punya gedung trade centre sendiri. Di Jakarta beberapa yang besar adalah ITC Mangga Dua, ITC Cempaka Mas, dan masih banyak proyek lainnya.
Namun, dalam waktu setahun terakhir ini, hampir tidak ada lagi proyek properti yang mengusung konsep trade centre. Para pengembang lebih banyak membangun pusat belanja dengan konsep shopping mall, yang saat ini menjamur.
Lembaga konsultan properti Jones Lang LaSalle mengungkapkan bahwa saat ini konsep trade centre tidak lagi menarik perhatian warga. Khususnya, mereka yang tinggal di Jakarta. Kondisi ini bisa dilihat dari banyaknya kios-kios yang kosong tidak berpenghuni.
Bahkan, lembaga riset ini resmi menghentikan surveinya untuk pusat belanja yang sempat booming pada 2005-2006 itu. Upaya ini dilakukan, karena tidak akan ada pasokan lagi ke depannya.
Kepala Riset Jones Lang LaSalle Indonesia, Anton Sitorus, kepada VIVAnews mengungkapkan, beberapa alasan kenapa proyek ini tidak berumur panjang.
Perubahan konsumen
Proyek trade centre, menurut Anton, pada awalnya memang menguntungkan untuk pembeli. Terbukti, ketika ITC dibuka, sambutannya amatlah baik. Kondisi ini otomatis membuat penjualan naik.
Namun, pada penjualan awal ini kebanyakan pembeli kios di trace centre adalah end user yang memang menggunakan sendiri kiosnya. Namun, ketika proyek ini menjamur, tata kepemilikan mulai berubah.
Dari end user, kini kebanyakan pemilik kios di trade centre menjadi investor. Sebab, mereka membeli kios dengan harapan bisa menjual lebih mahal lagi atau akan menyewakannya kembali.
"Nah, ketika menyewakan kembali ini lah masalah mulai terjadi. Sebab, banyak retailer yang tidak suka dengan kios trade centre," ujarnya.
Anton mengungkapkan, mereka tidak suka dengan alasan tempatnya terlalu kecil. Dan memang, untuk beberapa retailer besar hal ini akan amat berpengaruh.
Pengaturan zona berantakan
Alasan lainnya, dia melanjutkan, proyek ini tidak bisa bertahan lama karena masalah zoning atau penzonaan. Dalam sistem trade centre, tidak ada sistem penzonaan yang jelas seperti yang ada dalam shopping mall sewa.
Kondisi ini, dia melanjutkan, membuat pengguna tidak bisa mengetahui toko di sebelahnya menawarkan apa.
Tidak adanya pengaturan zona ini, menyebabkan satu toko menawarkan emas, toko di sebelahnya bisa saja berjualan bakso. Dan toko di sebelahnya menawarkan motor, sedangkan di sebelahnya lagi berjualan kain.
"Situasi ini tidak terlalu menarik buat peritel ataupun buat pengunjung. Makanya, kami lihat banyak yang kosong-kosong," ujar Anton.
Karena kondisi tersebut terus terjadi, para pengembang akhirnya berhenti untuk membangun pusat perbelanjaan dengan konsep trade centre. (art)