Di Desa Ini, Potong Pohon Didenda Satu Ekor Kambing
Rabu, 18 Desember 2013 - 06:24 WIB
Sumber :
- VIVAnews/Erick Tanjung
VIVAnews - Beberapa tahun belakangan banjir kerap melanda Desa Gumantar, Kayangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Setiap hujan deras mengguyur kawasan ini, air sungai selalu meluap dan menggenangi pemukiman warga. Salah satu penyebabnya, karena hutan sudah mulai lengang dari pepohonan yang menyerap bibit air.
Baca Juga :
Dalam kondisi seperti ini, pranata sosial masyarakat sangat penting dalam menjaga kondisi hutan yang sudah mulai terancam. Seperti halnya, kampung adat di Dusun Beleq, Desa Gumantar, Kayangan, Lombok Utara. Masyarakat di kampung ini memiliki kearifan lokal untuk menjaga kelestarian alam. Mereka memiliki aturan-aturan adat yang melarang warga menebang pohon di hutan adat milik komunitas mereka.
"Kami punya awik-awik (Peraturan Adat), bagi warga yang memotong pohon di hutan adat akan dihukum secara adat," kata Raden Jumedal, Tokoh Adat setempat dalam perbincangan dengan VIVAnews beberapa waktu lalu.
Di kampung adat Beleg ini hanya terdapat 90 kepala keluarga yang tinggal. Komplek adat tersebut terdapat 36 rumah yang masih sangat tradisional. Rumah-rumah mereka bertiang kayu dengan dinding gedeg dan beratapkan lontar. Komunitas adat ini masih menjaga kelestarian rumah mereka. Tidak memiliki listrik, bila malam tiba, rumah mereka hanya diterangi cahaya obor.
200 meter dari kampung itu, terdapat hutan adat seluas 7,5 hektar. Hutan ini hanya dijaga dengan aturan-aturan adat, agar tidak ditebangi pohonnya oleh warga. Untuk kebutuhan hidupnya, mereka bertani, ladang jagung, jambu mete, coklat dan lainnya.
Ia menjelaskan, jika ada warga yang menebang pohon akan ditangkap dan disidang di majelis adat. Kemudian dihukum sesuai pelanggaran yang dilakukan oleh tersangka. Mulai dari hukuman berat, sedang dan ringan.
"Hukuman ringannya didenda seekor kambing, seekor ayam dan satu kuintal beras. Denda itu untuk warga kampung, dimakan beramai-ramai," terangnya.
Komunitas yang mayoritas muslim itu, juga memiliki tempat sakral disebut Pegalan. Tempat ini juga terbuat dari kayu dan beratapkan daun lontar, digunakan untuk berdoa berjamaah meminta kepada yang Maha Kuasa agar dijauhi dari bencana.
"Kalau hujan deras berhari-hari yang menyebabkan banjir dan longsor, kami berdoa di sini dengan semua warga. Supaya pertanian tidak rusak," tuturnya.
Selain itu, untuk menjaga keselarasan dengan alam, setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, mereka mengeluarkan benda pusaka warisan nenek moyangnya. Pusaka itu berupa sejumlah gamelan dan sebuah Gong, kemudian dibawa ke hutan adat untuk dibersihkan menggunakan air sumur. Setelah itu mereka memainkan gamelan dan gong mulai malam hingga esok paginya.
"Gamelan dan Gong dipukul saat maulid adat (Maulid Nabi Muhammad SAW). Dikeluarkan saat gerhana bulan," katanya. (one)