Anggota Komisi III Kritik Penahanan Nenek Asyani

nenek curi kayu jati situbondo
Sumber :
  • tvOne
VIVA.co.id - Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Situbondo yang memberikan penangguhan penahanan Nenek Asyani sudah tepat. Namun, sebenarnya, sejak awal Nenek Asyani memang tidak perlu dikenakan penahanan fisik.

Hal tersebut disampaikan oleh anggota DPR dari Komisi III, Sufmi Dasco Ahmad. Menurutnya, dasar hukum tidak perlu ditahannya Nenek Asyani sebenarnya sangat kuat yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan. Perma Nomor 2 Tahun 2012 tersebut menyesuaikan nilai minimal barang dalam Pasal 364 KUHP tentang pencurian ringan dari Rp250 menjadi Rp2.500.000.

Intinya jika nilai barang yang dicuri tidak lebih dari Rp2.500.000., maka pasal yang dikenakan adalah pasal 364 KUHP tentang Pencurian ringan yang ancaman hukumannya hanya 3 bulan dan bukan Pasal 362 tentang pencurian biasa yang ancaman hukumannya 5 tahun. Dengan ketentuan tersebut maka tersangka atau terdakwa dalam kasus pencurian ringan tidak perlu dikenakan penahanan, jelas Dasco.


Perma Nomor 2 Tahun 2012  tersebut lahir atas desakan publik setelah mencuatnya kasus-kasus pencurian ringan yang menarik perhatian karena dirasa sangat tidak adil seperti kasus Nenek Minah yang ditahan karena dituduh mencuri buah coklat, kasus Basar dan Kholil yang ditahan karena mencuri satu buah semangka dan kasus-kasus pencurian ringan lainnya.


Dasco mengatakan, nilai barang-barang yang dicuri tersebut sangatlah kecil, tidak sebanding dengan penderitaan yang mereka rasakan karena dikenakan penahanan.


“Yang aneh, nampaknya para penegak hukum dalam kasus Nenek Asyani seolah menghindari Perma Nomor 2 Tahun 2012 tersebut dengan menggunakan  Pasal  12 juncto Pasal 83 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan,”ujarnya.


Dengan UU tersebut mereka berkelit tidak bisa menerapkan Pasal 364 KUHP sehingga penahanan terhadap nenek Asyani tetap bisa dilakukan. Padahal tetap saja, nilai kerugian atau kerusakan  dalam kasus tersebut sangat ringan,ungkap Dasco.


Menurut Dasco, satu hal yang sangat disesalkan adalah bahwa institusi penahanan masih menjadi “ideologi” bagi sebagian penegak hukum di negeri ini. Tidak peduli si tersangka/terdakwa sudah berumur jompo atau nilai kerugian perbuatannya sangat ringan, penegak hukum tersebut seolah baru merasa benar-benar telah menegakkan hukum jika telah melakukan penahanan.


Seharusnya “ideologi penahanan” tersebut dibuang jauh-jauh. Harus dipahami bahwa penahanan bukan merupakan tujuan  dan juga bukan syarat utama dalam penegakan hukum.


Institusi penahanan sebelum adanya vonis yang berkekuatan hukum tetap adalah institusi sekunder yang hanya bisa diterapkan jika syarat-syarat tertentu dipenuhi seperti adanya kekhawatiran tersangka melariakan diri, menghilangkan alat bukti dan mengulangi tindak pidan,ujarnya.


“Kami berharap semua institusi penegak hukum melakukan evaluasi serius terhadap kasus nenek Asyani ini. Para penegak hukum yang bersalah haruslah dikenakan teguran yang sesuai agar agar tidak mengulangi perbuatannya,” katanya.


Selain itu Perma Nomor 2 Tahun 2012 juga harus diperluas cakupannya, jadi tidak hanya pasal-pasal pencurian ringan yang disesuaikan, melainkan semua produk UU terkait tindak pidana ringan harus disesuaikan.  Pada prinsipnya kita tidak ingin ketidak-adilan yang begitu kasat mata seperti yang menimpa Nenek Minah, Basar dan Kholil dan nenek Asyani terjadi lagi di negeri kita, ujar Dasco.


(ren)