Ini Alasan Rupiah Rentan Pengaruh Global

Rupiah
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id - Penguatan dolar Amerika Serikat (AS) telah membuat nilai tukar rupiah merosot hingga ke level Rp13.000 per dolar AS. Kondisi itu membuat pasar khawatir situasi krisis ekonomi 1998 terulang kembali.

Analis ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi, Agus Tony Poputra, mengatakan, terdapat beberapa faktor yang membuat rupiah sangat rentan terhadap pengaruh global.

Pertama, kurangnya usaha serius pemerintah selama beberapa dekade mendorong impor produksi barang substitusi. Hasilnya, tekanan impor semakin deras yang berujung rupiah semakin terekspose.

Kedua, lambatnya penerapan kebijakan hilirisasi, terutama di sektor pertambangan.

"Ini membuat sumber daya alam terdepresi luar biasa, namun nilai tambah domestiknya sangat kecil. Selain itu, terjadi ekspor ilusi yang signifikan pada sektor pertambangan, yaitu nilai ekspor besar tetapi devisa masuk kecil," kata Agus seperti dikutip dari pernyataan tertulis yang diterima VIVA.co.id, Kamis 18 Juni 2015.

Menurut dia, kondisi ini membuat dana pihak ketiga (DPK) perbankan dalam negeri tumbuh lambat serta cadangan devisa tidak meningkat signifikan.

Selama empat tahun terakhir, cadangan devisa Indonesia hanya berkutat pada US$95-124,64 miliar, dan tertinggi sebesar US$124,64 miliar pada Agustus 2011.

Diutarakannya, angka tertinggi ini sulit dicapai kembali, bahkan Mei 2015 posisinya hanya sebesar US$110,8 miliar. Jumlah sebesar itu membuat intervensi BI untuk menstabilisasi rupiah tidak terlalu kuat.

Agus mengatakan, pemerintah harus tegas dan konsisten dalam kebijakan hilirisasi dan substitusi produk impor. Kebijakan ini perlu ditunjang dengan percepatan pembangunan infrastruktur, terutama perhubungan dan listrik.

Ketiga, dia melanjutkan, lebih dari 20 tahun pemerintah tidak memberi perhatian serius terhadap kebijakan konten lokal. Dampaknya, nilai impor bahan baku semakin meningkat seiring bertambahnya permintaan produk untuk pasar domestik maupun ekspor. 

Keempat, meningkatnya perilaku konsumsi barang impor sebagai alat aktualisasi diri, sehingga meningkatkan permintaan barang impor. "Kondisi ini terjadi karena minimnya kampanye untuk menggunakan produk dalam negeri," ucap Agus.

Kelima, penerapan kebijakan devisa yang terlalu bebas. Ini mengakibatkan sulit mengendalikan pergerakan devisa sehingga rupiah menjadi mudah dimainkan.

"Stabilisasi rupiah yang hakiki tidak dapat diselesaikan lewat kebijakan yang bersifat responsif. Kebijakan tersebut umumnya hanya memberi solusi jangka pendek," tuturnya.