Penurunan Biaya Interkoneksi Bisa Batal?

Ilustrasi BTS.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id –  Kebijakan baru, yang turun lebih dari 20 persen, dinilai tidak sah karena pemerintah dianggap tidak transparan dalam proses penghitungannya.

Hal ini diungkapkan oleh Sekjen Kajian Telekomunikasi di Institut Teknologi Bandung, M. Ridwan Effendi. Menurutnya, jika melihat PP Nomor 52 tahun 2000 maka penghitungan harus transparan, disepakati bersama, dan adil. Jika tidak, maka ada kemungkinan kebijakan ini bisa dibatalkan.

"Lihat di pasal 23 ayat 2. Di situ tertuang, perhitungan harus transparan, disepakati dan adil. Untuk penentuan tarifnya pun pemerintah harus memakai formula berbasis biaya (cost based). Tanggung jawab pemerintah itu menyediakan formula perhitungan, verifikasi dan validasi, berdasarkan input operator," kata Ridwan, dalam keterangannya, Senin 22 Agustus 2016.

Dia mengatakan, pemerintah tidak bisa menetapkan harga karena itu menjadi kesepakatan bersama operator telekomunikasi. Bahkan penetapan itu juga mengacu pada Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI) karena masing-masing operator memiliki cakupan wilayah yang berbeda. Data-data operator, seperti pencapaian pembangunan BTS atau jaringan itu, kata Ridwan, harus divalidasi oleh pemerintah. Hal ini sebagai acuan dalam menetapkan DPI.

"Jadi bisa dibilang saat ini kebijakan tersebut tidak sah karena tidak disepakati bersama. Sanksi PTUN bisa dikenai ke pemerintah sehingga aturannya bisa batal," ujar Ketua Program Studi Telekomunikasi ITB, Ian Joseph Matheus Edward.

Pemerintah telah mengeluarkan surat edaran penurunan biaya tarif interkoneksi yang turun dari Rp250 menjadi Rp204. Kalkulasi Menkominfo, jika secara rata-rata ada penurunan biaya interkoneksi 26 persen, setidaknya tarif ritel per 1 September mendatang akan turun pada kisaran 15 persen hingga 30 persen, tergantung jenis panggilan yang dilakukan.