Tiga Pertimbangan Pemerintah Rombak PP Bisnis Hulu Migas

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Sumber :
  • ANTARA/Rosa Panggabean

VIVA.co.id – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjabarkan tiga masalah utama mengapa Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tanun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan (cost recovery) dan Perlakuan Perpajakan Bagi Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi direvisi. 

Pertama, kata Menkeu, yakni para kontraktor yang membandingkan rezim assume and discharge yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 dengan cost recovery pada PP Nomor 79 Tahun 2010. Pada rezim assume and discharge, diatur bahwa pemerintah akan mengganti pajak tidak langsung.

Itu berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi Bangunan (PBB), Bea Masuk, Pajak Daerah, dan restribusi daerah, yang dibayarkan kontraktor dengan mekanisme reimbursement. Dalam aturan itu, seluruh pajak tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan eksplorasi bisa digantikan pemerintah.

Sementara dalam aturan cost recovery, lanjut  dia, pajak tidak langsung seperti PPN, PBB, Bea Masuk, Pajak Daerah, serta restribusi daerah justru dibayarkan oleh kontraktor, sebagai biaya operasi yang kemudian dapat di kembalikan, atau dalam hal ini cost recovery.

"Perubahan ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak menarik bagi para kontraktor. Sehingga mereka menganggap risikonya menjadi lebih besar," ujar Ani, sapaan akrab Menkeu dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Jumat 23 September 2016.

Sementara yang kedua, yakni terkait beban pajak pada masa kegiatan eksplorasi. Ani menjelaskan, kontraktor selalu dihadapkan pada setoran pajak pada kegiatan eksplorasi seperti PPN dan PBB. Dengan penerimaan minyak dan gas yang rendah, beban itu dianggap terlalu memberatkan kontraktor.

"Kontraktor harus menanggung biaya pajak pada masa eksplorasi tersebut. Apabila gagal, berarti dia menjadi biaya permanen," katanya.

Sedangkan yang ketiga, rezim PP 79 Tahun 2010 dianggap mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebabkan keekonomian dari suatu proyek menjadi lebih rendah. Sehingga pada akhirnya, proyek-proyek hulu migas menjadi tidak menarik.

"Karena dari segi Internal Rate of Return, terlalu rendah dan cost-nya besar. Sehingga dari sisi risiko dan return para investor tidak memberi keyakinan," tegas Ani.

Ani mencontohkan, misalnya dari eksplorasi minyak di laur dalam, yang membutuhkan teknologi super canggih, serta pengembangan sumur-sumur minyak yang membutuhkan pengeluaran yang tidak sedikit. Di sisi lain, apabila dilihat dari sisi keekonomian pun memiliki risiko tinggi.

"Oleh karena itu minat untuk melakukan kegiatan hulu minyak menjadi menurun," ungkap dia.

(ren)