Menkominfo Rudiantara Tuai Kritik Soal Network Sharing

Teknisi memeriksa perangkat BTS XL
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna

VIVA.co.id – Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, menyerahkan tanggung jawab regulasi berbagi jaringan (network sharing) kepada Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian, Darmin Nasution. Namun, tindakan itu dikritik sebagai langkah “buang badan.” Sebab, objek jaringan yang akan diatur adalah milik operator telekomunikasi, yang notabene merupakan ranah Kominfo.

"Agak aneh prosesnya. Mengapa Menko Perekonomian yang bergerak?. Bukankah proses pembuatan atau perubahan Peraturan Pemerintah lazimnya berasal dari departemen atau kementerian teknis?. Siapa lagi yang bertanggung jawab terhadap masalah tersebut, ya kementerian teknis dong," ujar Wisnu Adhi Wuryanto, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis, dalam keterangan resminya, Senin 26 September 2016.

Bahkan pelimpahan tanggung jawab perubahan Peraturan Pemerintah (PP) 52 dan PP 53 tentang Network Sharing tersebut semakin meyakinkan Wisnu, bahwa usulan tersebut dibawa diam-diam oleh Menkominfo.

Wisnu mengatakan, berdasarkan informasi yang dihimpun tim federasi, usulan Revisi PP 52 tahun 2000 dan PP 53 Tahun 2000 awalnya diajukan secara diam-diam oleh Menkominfo sebagai inisiator ke Presiden, tanpa melewati kementerian terkait. Padahal seharusnya, sesuai dengan Undang Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014, harus melibatkan kementerian terkait.

"Menko Perekonomian Darmin Nasution  ini kan baru dilibatkan setelah draf Perubahan PP tersebut dikembalikan oleh Presiden. Menkominfo buang badan," kata Wisnu. 

Jika kebijakan baru network sharing ini jadi dilaksanakan, maka tiap operator telekomunikasi di Indonesia wajib membagi jaringannya kepada operator lain yang notabene menjadi kompetitornya. Model network sharing yang bersifat wajib ini belum dikenal sama sekali dalam UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

“Makanya kami akan menyiapkan  Permohonan judicial review ke MA jika Perubahan PP itu terbit nanti," Kata Wisnu.

Terkait regulasi network sharing ini, bila dianalogikan dengan bisnis penerbangan, maka network sharing itu sama saja misalnya Lion Air yang punya armada banyak diwajibkan oleh regulator membagi kursinya untuk mengangkut penumpang maskapai lain yang menjadi pesaingnya. Padahal infrastruktur atau alat produksi adalah keunggulan utama bisnis. Aset itulah yang menjadi modal sebuah perusahaan untuk bersaing di arena bisnis yang kompetitif.

Wisnu menilai Menkominfo tak kreatif dalam menyehatkan industri telekomunikasi. Selain penurunan biaya interkoneksi, operator telekomunikasi di Indonesia saat ini sudah sangat terpukul atas kehadiran pemain baru yang disebut Over The Top (OTT).

“Pendapatan telepon voice (suara) dan SMS terus anjlok dari tahun ke tahun akibat adanya aplikasi OTT. Semua operator mengalami hal itu, sehingga mestinya mereka bersatu menghadapi invasi OTT dan pemerintah mem-backup dengan kebijakan-kebijakan yang pro operator Indonesia," katanya.

Pembiaran OTT ini, salah satu indikasinya adalah begitu lamanya proses pengambilan masukan dari masyarakat setelah dikeluarkannya Surat Edaran nomor 3 Tahun 2016 pada 31 Maret 2016 yang intinya menerangkan, Kominfo akan menerbitkan Peraturan Menteri yang mengatur OTT.

"Kesan diskriminatif terlihat di sini. Untuk revisi PP 52 Tahun 2000 dan PP 53 Tahun 2000, Kominfo main petak umpet tanpa pengambilan masukan dari masyarakat dan drafnya langsung sampai ke Presiden padahal isinya berpotensi merugikan BUMN,” kata dia. 

Sementara untuk Peraturan Menteri tentang OTT, walau sudah lebih dari 6 bulan Menkominfo mengeluarkan surat edaran, belum juga memutuskan. Sehingga saat Menteri Keuangan memburu pajak Google, Menkominfo tidak bisa berbuat banyak.

“Menkominfo terkesan tergopoh-gopoh dan hanya bisa mengimbau Google untuk membayar pajak. Menkominfo kita ini terkesan lembut ke asing tapi galak ke BUMN," jelas Wisnu.

 

(ren)