Tumpang Tindih Aturan Picu Tingginya Harga Gas Domestik

Pemanfaatan Gas Bumi untuk Industri
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) menilai, harga gas Indonesia yang masih terlalu tinggi disebabkan oleh tumpang tindihnya peraturan. Untuk itu, peraturan yang terangkum dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) didesak untuk segera direvisi.

Harga gas dalam negeri disebut berkisar di angka US$8 hingga US$10 per Milion Metric British Thermal Unit (MMBTU), lebih mahal dibandingkan harga gas industri di Singapura, sekitar US$4-US$5 per MMBTU, Malaysia US$4,47 per MMBTU, Filipina US$5,43 per MMBTU dan Vietnam US$7,5 per MMBTU. 

Ketua FIPGB, Achmad Safiun memandang bahwa adanya harga gas yang tinggi tidak hanya disebabkan oleh traders atau perantara distribusi gas. Namun, hal itu berawal dari adanya tumpang tindih peraturan. 

"Bukan tumpang tindih (distribusi) pipa, tetapi tumpang tindih peraturannya. Gas itu, misalnya PGN saja anak perusahaannya lima. Lalu, Pertamina, gas niaganya juga punya anak perusahaan, ngapain begitu loh. Jadi, pemerintah dalam aturan ini kurang tegas," kata Safiun kepada VIVA.co.id, Jumat, 7 Oktober 2016. 

Untuk itu, kata dia, kelompok industri pengguna gas saat ini menunggu adanya Revisi Undang-undang Migas. Sebab, UU itu diklaim hanya seperti dokumen resmi bisnis yang tak bisa diterapkan, atau tidak mengikat secara hukum (Letter of Intent).

Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian ESDM tengah mengejar untuk menyelesaikan Revisi UU Migas selesai tahun ini. Sementara itu, Komisi VII DPR RI, juga tengah mempersiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) bila revisi UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas tersebut tak berhasil rampung tahun ini. (asp)