PLN Akuisisi Pertamina Geothermal Energy, Ini Kata DPR
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Wakil Ketua Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mohamad Hekal, menilai, rencana PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengambil alih PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) perlu dikaji lagi. Terutama terkait kemampuan pendanaan PLN lantaran masih membutuhkan Penanaman Modal Negara (PMN) dari pemerintah.
Menurutnya, jika pengambilalihan Pertamina Geothermal melalui skema akuisisi, maka PLN harus menggelontorkan banyak uang.
"Kalau akuisisi saya keberatan juga," ujarnya dalam keterangan resminya di Jakarta, Sabtu, 15 Oktober 2016.
Hekal mengatakan, dengan sumber pendanaan PLN yang masih membutuhan PMN dari pemerintah, jika berencana mengakuisisi Pertamina Geothermal akan membutuhkan dana besar untuk membangun pembangkit listrik 35 ribu Mega Watt (MW).
"Masih butuh PMN setiap tahun, kok malah dananya untuk beli saham PGE. Kami akan minta penjelasan," tuturnya.
Hekal menekankan, Kementerian BUMN harus mengkaji lebih dalam terkait rencana tersebut dengan melihat kembali pada kinerja keuangan dan korporasinya, serta mengkaji skema pengambilalihannya dan pihak pengendalinya.
"Apakah akan dikendalikan oleh Pertamina atau oleh PLN, yang penting mampu mengembangkan energi panas bumi," ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Abadi Purnomo, yang juga meragukan rencana pengambilalihan PGE oleh PLN. Menurut dia, pemerintah dalam hal ini kementerian BUMN harus menjelaskan secara rinci tujuan rencana tersebut dan dampak positifnya.
Sebab, kata dia, yang terlihat rencana tersebut sejauh ini adalah menimbulkan dampak negatif. Seperti sinergi PGE dengan PLN ini akan menurunkan harga panas bumi karena investasinya tetap.
Sebagai informasi, Pertamina dan PLN berlawanan dalam penentuan harga jual uap untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi. Salah satunya adalah harga uap untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 1, 2, dan 3 Kamojang, Garut, Jawa Barat.
PLN menganggap harga uap yang ditawarkan Pertamina terlalu mahal. Harga uap semestinya sekitar Rp535 per kwh atau sebesar empat sen dolar Amerika Serikat (AS). Namun, Pertamina menawarkan harga yang lebih tinggi. Sedangkan jangka waktu yang diberikan Pertamina dinilai terlalu pendek, yaitu hanya lima tahun.
Kesepakatan harga akhirnya tercapai setelah Menteri BUMN, Rini Soemarno, menegur kedua BUMN tersebut. Menurut Edwin, hal inilah yang menjadi latar belakang munculnya ide keikutsertaan PLN dalam pengelolaan panas bumi melalui PGE.