Keanekaragaman Hayati Dunia Menurun, Ini Sebabnya

Ilustrasi pembakaran lahan.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/FB Anggoro

VIVA.co.id – Organisasi konservasi di Indonesia, World Wildlife Fund kembali menerbitkan publikasi ilmiahnya yang berisi paparan mengenai keanekaragaman hayati Bumi, Living Planet Report 2016 (LPR) 2016. Dalam laporan tersebut, terjadi penurunan tingkat keanekaragaman hayati dunia. 

Dari penurunan tersebut, LPR menyoroti pada sistem pangan dan energi sebagai sistem yang paling berpengaruh terhadap kondisi Bumi saat ini.  

Pelaksana tugas (Plt) Chief Executive Officer WWF Indonesia, Benja Mambai mengatakan, konsumsi pangan dan energi terkonsentrasi di wilayah perkotaan, dengan indikasi tingginya emisi gas rumah kaca yang berasal dari aktivitas perkotaan. Emisi gas di kota sebesar 70 persen. 

Dengan hasil tersebut, kata Benja, tidak mengherankan mengingat 54 persen populasi dunia saat ini ada di kota dan daya beli di tingkat global terkonsentrasi di perkotaan, yakni 80 persen. 

"Hal yang sering terlupakan oleh kita sebagai konsumen yang hidup di perkotaan dengan segala kemudahannya adalah besarnya ketergantungan kita terhadap alam. Ingatlah bahwa kita hanya memiliki satu planet Bumi dengan kekayaan alam terbatas," ujar Benja saat diskusi di Hotel Le Meridien, Jakarta, Senin, 21 November 2016.

Menurut Social Development Strategy Leader WWF Indonesia,  Cristina Eghenter, cara yang bisa ditempuh bersama manusia di Bumi untuk menyelamatkan planet ini sebenarnya sederhana saja. Cukup dengan perubahan gaya konsumsi yang dimulai dengan berhemat berbagai produk yang dikonsumsi sehari-hari, terutama pemakaian listrik. 

Kemudian, saat hendak menggunakan produk, konsumen harusnya mencari tahu asal usul produk yang dikonsumsi sehari-hari serta menghindari produk-produk yang diproduksi dengan cara merusak lingkungan. 

Misalnya produk yang dihasilkan dari pembakaran hutan, penebangan ilegal, penangkapan ikan dengan bom atau sianida serta penggunaan bahan-bahan kimia yang berbahaya untuk lingkungan dan kesehatan manusia.

“Sistem pangan dunia yang berlaku saat ini memungkinkan para pelaku industri dengan penguasaan besar terhadap sumber daya alam dan kapital mengabaikan faktor lingkungan dan sosial dalam pola produksi dan distribusi pangan. Sehingga mengakibatkan peningkatan jejak ekologi yang hampir tidak terkendali serta terjadinya ketimpangan ekonomi,” ujar Cristina.