Penyebab Harga Ayam di Peternak Lebih Rendah

Peternakan ayam potong di Bogor
Sumber :
  • Antara/ Jafkhairi

VIVA.co.id – Gerakan Bela Peternak Ayam Pedaging dan Petelur menyebutkan kondisi ketersediaan daging ayam saat ini di Indonesia mengalami kelebihan atau over supply dengan perhitungan ketersediaan kira-kira 18 juta ekor per minggunya. Atau dalam setahun diperkirakan ada 3,5 miliar ekor ayam hidup. 

"Belum dikonversi menjadi kilogram. Kalau ayamnya gede, secara kilogram naik. Kalau ayamnya kecil, berarti turun. Tapi secara ekor 18 juta per minggu. Over supply sekitar 20 persen," kata Ketua Gerakan Bela Peternak Ayam Pedaging dan Petelur, Kadma Wijaya di Kantor Kementerian Perdagangan Jakarta, Selasa, 28 Februari 2017.

Padahal, kata Kadma, kebutuhan konsumsi daging ayam secara nasional dalam setahun sekitar 10 kilogram (kg) per kapita. Sehingga bila dihitung ada sekitar 2,8 miliar ekor ayam per tahun untuk diolah menjadi bahan konsumsi. 

Menilik pertumbuhan ketersediaan ayam 3,5 miliar dan kebutuhan secara nasional 2,8 miliar ekor, menunjukkan angka kelebihan pasokan 0,7 miliar ekor dalam setahun. 

Kurang berimbangnya antara ketersediaan dan kebutuhan inilah, yang lantas menjadi salah satu penyebab yang membuat harga jual ayam di tingkat peternak dimainkan secara rendah. Ditambah, belum ada regulasi pemerintah yang mengatur harga di tingkat peternak dan pedagang.
 
Persoalan lain muncul kemudian, yang mana daging ayam di tingkat pedagang tetap berada di kisaran relatif masih tinggi, yaitu Rp30 ribu - Rp35 ribu per kg. 

"Masalah lainnya adalah keberadaan daging ayam yang menjadi barang subtitusi, yang dapat digantikan konsumsinya dengan daging lainnya yang sama-sama mengandung protein," tuturnya. 

Artinya, permintaan daging ayam ini sifatnya belum tentu stabil. Jika permintaan merosot di tingkat konsumen, tentu akan memengaruhi permintaan ayam hidup di tingkat peternak oleh pedagang. 

Saat ini saja harga ayam hidup di tingkat peternak berada di kisaran rendah Rp13 ribu - Rp14 ribu per kg. Bahkan posisi terendah di Jawa Tengah, berada di level harga Rp9 ribu per kg. Padahal idealnya setelah menghitung biaya produksi, harganya paling tidak Rp17.500 per kg. 

"Harga Rp9.000 per kg ini mulai bulan kemarin terjadi. Kemudian karena kami ada reaksi, naik. Kami kan kalau ada reaksi naik, lalu kalau dianggap ini turun lagi. Karena ini kondisinya over supply. Kalau diantisipasi dengan cara menahan barang, bisa sesaat. Setelah itu jatuh lagi karena barangnya banyak," kata Kadma. (ase)