Pekerja Informal juga Berhak Dapat KPR

Suasana di suatu Pameran Properti di Jakarta beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis

VIVA.co.id – Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia mengeluhkan mengenai masih sulitnya penerapan kebijakan pemerintah pusat oleh pemerintah daerah, terkait program satu juta rumah, khususnya soal perizinan.

Keluhan Apersi itu disampaikan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Apersi, Junaidi Abdillah, bersama jajarannya saat menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, di kantor Wakil Presiden.

"Pemerintah pusat sebenarnya sudah memberikan sejumlah stimulus, tapi di tataran pemda banyak hal yang terkendala izin. Karena itulah kami khawatir target 2017 ini tidak tercapai," kata Junaidi di kantor Apersi, kawasan MT Haryono, Jakarta Timur, Senin, 20 Maret 2017.

Selain itu, Junaidi juga mengeluhkan kepada Jusuf Kalla mengenai 'diskriminasi' yang kerap diterima para calon pembeli rumah dengan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) dari kalangan para pekerja informal. Sebab, pihak bank kerap tidak meloloskan mereka hanya karena menganggap pengajuan aplikasinya tidak 'bankable'.

"Minat pekerja informal (dalam membeli rumah) itu tinggi, tapi kurang dapat respons pihak perbankan karena dianggap no applicable, ini kan tidak adil. Hanya karena mereka kerap dianggap tidak berpenghasilan tetap, mereka jadi tidak bisa dapat fasilitas dan subsidi negara dalam upaya kepemilikan rumah," ujarnya.

Oleh karenanya, Junaidi mengaku jika pihaknya sangat berharap agar para pekerja informal bisa diakomodir dalam mendapatkan KPR, bahkan diberikan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan atau FLPP.

"Jangan hanya karena mereka tidak formal dan tidak bisa menunjukkan slip gaji, lalu mereka jadi terus-terusan enggak bisa dapat kemudahan tersebut," katanya.

Ia menilai jika dalam penerapan PP Nomor 64 Tahun 2016 tentang pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), juga sangat sulit diterapkan.

Pasalnya, salah satu klausul di dalamnya yang menyebut bahwa rumah subsidi harus langsung ditempati oleh pemiliknya, juga memiliki sejumlah kendala terutama di daerah-daerah luar Pulau Jawa.

"Bahkan, ketentuan di mana rumah bersubsidi harus langsung di tempati, ini juga masalah. Karena seperti di Kalimantan misalnya, listrik ke sana kan belum masuk, dari tiang listrik terpasang itu bisa sampai sembilan bulan baru teraliri listrik," kata Junaidi. (ase)