Beda Barter Sukhoi Zaman Megawati dan Jokowi

Pesawat tempur Sukhoi. (Ilustrasi)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Siswowidodo

VIVA.co.id – Beli pesawat tempur Sukhoi buatan Rusia dengan komoditas unggulan Indonesia merupakan realisasi dari Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Industri Pertahanan. Barter yang disepakati kedua negara itu diresmikan lewat Memorandum of Understanding (MoU) antara BUMN Rusia, Rostec, dengan BUMN Indonesia, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia. 

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengungkapkan imbal dagang ini merupakan bentuk nyata dari UU tersebut. Aturan itu baru berlaku pada tahun ini meski telah menyelesaikan prosesnya, dan berlaku pada  2016. 

"Undang-undangnya nomor 16 waktu 2012 kan itu harus ada proses dan mulai berlaku sejak 2016. Begitu, sehingga ini diterapkan di 2017," ujar Enggar di kantor Kementerian Pertahanan, Selasa 22 Agustus 2017. 

Enggar pun mengakui, pembelian pesawat Sukhoi kepada Rusia pernah dilakukan pada saat Megawati Soekarnoputri menjabat Presiden RI di awal dekade 2000-an. Namun, kata Enggar, hal tersebut tentu berbeda dengan pembelian yang dilakukan pemerintahan Jokowi saat ini. 

"Oh lain (zaman Megawati). Waktu itu pembelian murni, dan tidak berdasarkan undang-undang. Sekarang ini sudah berdasarkan undang-undang," ujar Enggar. 

Dalam UU Nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan itu, pada pasal 43 ayat 5 (e), menyatakan bahwa setiap pengadaan alat peralatan pertahanan keamanan (Alpalhankam) dari luar negeri wajib disertakan imbal dagang, kandungan lokal dan ofset minimal 85 persen, di mana kandungan lokal dan/atau ofset paling rendah 35 persen. 

Pada perjanjian kali ini, karena pihak Rusia hanya sanggup memberikan ofset dan konten lokal sebesar 35 persen, maka indonesia menegaskan kembali bahwa pembelian SU-35 ini dibarengi dengan kegiatan imbal beli yang nilainya 50 persen dari nilai kontrak. Artinya, pemerintah Indonesia membeli SU-35 dari Rusia dan negara itu sebagai negara penjual berkewajiban membeli sejumlah komoditas ekspor indonesia. 

Potensi Ekspor

Dengan skema imbal beli tersebut, Indonesia mendapat potensi ekspor sebesar US$570 juta atau 50 persen dari nilai pembelian SU-35 sebanyak 11 unit dengan niliai US$1,14 miliar. Adapun, kesepakatan ini ditandatangani pada 10 Agustus 2017 lalu, saat pelaksanaan misi dagang ke Rusia yang dipimpin oleh Mendag sendiri. 

Pemerintah Rusia dan Indonesia pun telah sepakat menunjuk Rostec dan PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebagai pelaksana teknis imbal beli tersebut. Dalam MoU tersebut, Rostec menjamin akan membeli lebih dari satu komoditas ekspor, dengan pilihan berupa karet olahan dan turunannya, CPO dan turunannya, mesin, kopi dan turunannya, kakao dan turunannya, tekstil, teh, alas kaki, ikan olahan, furnitur, kopra, plastik dan turunannya, resin, kertas, rempah-rempah, produk industri pertahanan, dan produk lainnya.

”Dengan imbal beli ini, Indonesia dapat mengekspor komoditas yang sudah pernah diekspor maupun yang belum diekspor sebelumnya,” jelasnya

Pihak Rostec lanjut Enggar, juga diberikan keleluasaan untuk memilih calon eksportir sehingga bisa mendapatkan produk ekspor indonesia yang berdaya saing tinggi.

”Mekanisme imbal beli ini selanjutnya menggunakan working group yang anggotanya berasal dari Rostec dan PT. PPI," tutur dia. (ren)