Divestasi Saham Freeport Harus Utamakan Kepentingan Nasional
- ANTARA/Muhammad Adimaja
VIVA – Skema divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia yang telah disepakati dengan pemerintah, belum menemukan titik temu. Proses negosiasi antara kedua pihak pun masih dilakukan saat ini, sehingga kedua pihak tidak ada yang dirugikan.
Pengamat Kebijakan Mineral Rachman Wiriosudarmo berpendapat, kepentingan nasional harus dijadikan tujuan utama dalam kebijakan investasi asing.
“Kepentingan nasional itu harus diperoleh tanpa meniadakan kemanfaatan investasi asing, kalau memang masih diperlukan." ujar Rachman dikutip dari keterangannya, Senin 30 Oktober 2017.
Menurutnya, saat ini, Indonesia menerapkan prinsip resource nationalism, yaitu kebijakan negara dengan tujuan mempersempit ruang gerak investasi asing di sektor pertambangan mineral, minyak dan gas bumi. Kebijakan ini pada umumnya dilakukan, karena tekanan politik atau karena berkembangnya ideologi tertentu yang berpengaruh kuat terhadap perkembangan politik dalam negeri.
Namun, dia menjelaskan, inti dari resource nationalism adalah adanya anggapan bahwa investor asing mendapatkan terlalu banyak kenikmatan dari investasi. Terutama, pada waktu harga komoditas mengalami peningkatan yang tinggi.
Meskipun telah diterapkan di berbagai negara, menurut mantan Direktur Pembinaan Pengusahaan Pertambangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini, masih menjadi perdebatan apakah kebijakan itu benar-benar diperlukan dan menguntungkan bagi negara dan bangsa.
“Indonesia tidak perlu dengan serta merta menerapkan resource nationalism hanya karena kebijakan tersebut marak diterapkan di banyak negara,” tambahnya.
Hal ini menurutnya, karena kegiatan eksplorasi pertambangan merupakan kegiatan risiko tinggi dengan tingkat kesuksesan rendah. Kegiatan eksplorasi pun untuk menemukan cadangan tidak selalu berhasil.
Lebih lanjut, dia mengatakan, hanya perusahaan pertambangan yang kuat yang mampu mengatasi tantangan tersebut. Perusahaan pertambangan besar harus bermodal kuat, memiliki dan menguasai teknologi dan akses pasar.
"Karena hal itu, maka hanya perusahaan pertambangan besar internasional yang mendominasi investasi pertambangan di negara berkembang, termasuk di Indonesia.” ungkapnya.
Lantas, mengapa perusahaan nasional tidak dapat dominan di sektor pertambangan? Rachman memaparkan, masalahnya adalah apakah perusahaan nasional bersedia melakukan investasi dengan melakukan kegiatan eksplorasi yang berisiko tinggi dengan rasio keberhasilan rendah?.
Menurutnya, pada umumnya investor nasional tidak bersedia. Penyebabnya antara lain, karena tidak cukup kuat, dan masih banyak peluang investasi lain dengan risiko yang lebih ringan.