Drama olshop Ramaikan Industri e-commerce Indonesia

Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas).
Sumber :
  • VIVA.co.di/Al Amin

Banyak lelucon yang muncul dari interaksi penjual dan pembeli di toko online, yang sebenarnya mencerminkan tantangan yang harus dipecahkan oleh industri e-commerce di Indonesia.

Drama antara penjual dan pembeli online tak henti-hentinya menjadi bahan pembahasan di media sosial dan ada saja kelucuan-kelucuan yang muncul dari interaksi penjual dan pembeli di toko online.

Curhat akun toko online Melmee Olshoop di Facebook, misalnya, sampai disebar 17.000 kali. Penjual dituduh menipu, karena meskipun barang sudah sampai di tangan pembeli, tapi resi tidak dikirimkan.

"Kan baju mbak sudah sampai, mau nipu apa lagi aku mbak?" tanya penjual.

Ribuan komentar menanggapi curhat ini di Facebook dan Twitter, salah satunya adalah komentar yang juga sambil mengeluh bahwa barang pesanannya tak kunjung sampai.

Protes soal resi ini hanya salah satu dari banyak drama yang muncul dari interaksi belanja online. Ada beberapa akun di media sosial yang mendokumentasikan drama toko online, yang sering disebut antara lain akun @drama.olshop di Instagram yang diikuti 430.000 orang.

Edward Kilian Suwignyo, Direktur Sales dan Marketing Elevenia, menilai bahwa meskipun masih banyak kegagapan, kefasihan berbelanja online saat ini sudah jauh lebih baik dibanding beberapa tahun lalu.

Edward pernah menjabat sebagai Head of Marketing di Multiply Indonesia, salah satu pionir di Indonesia.

"Dulu tantangan terbesarnya adalah bagaimana mengajak orang mencoba belanja online untuk pertama kalinya."

Multiply, yang sudah tutup pada 2013, dikenal sebagai salah satu pelaku yang gencar memberikan edukasi untuk berbelanja online, saat belanja online masih belum menjadi kebiasaan.

Edward mengenang masa-masa tujuh tahun lalu, sekitar tahun 2011, saat layanan pelanggan Multiply sibuk menjelaskan kepada orang-orang yang menelepon hanya untuk bertanya, mana yang harus diklik?

Ada juga pelanggan yang menelepon saat sudah berada di depan Anjungan Tunai Mandiri (ATM), untuk bertanya mana yang harus dipencet?

"Zaman dulu pembeli masih bingung, milihnya , barangnya seperti apa? Penjual juga sama bingungnya, misalnya memasang barang lalu ditinggal, tidak tahu bahwa ada yang mau beli," kata Edward.

Untuk menarik masyarakat berbelanja online pertama kalinya, strategi yang dilakukan adalah dengan cara mengimingi-imingi mereka dengan diskon.

"Kami memanfaatkan tipikal orang Indonesia yang sangat sensitif terhadap harga untuk mempercepat adopsi orang belanja online," kata Edward.

Kini, tantangan di dunia sudah sangat berbeda.

Dari ribuan drama online yang terekam di akun @drama.olshop, ada beberapa isu yang sebenarnya menjadi penyebab "masalah" antara penjual dan pembeli di toko online.

Yang paling sering muncul adalah ketidakpercayaan antara penjual dan pembeli, pembayaran, layanan dan infrastrukturnya.

"Sekarang isu ketidakpercayaan antara penjual dan pembeli masih ada, tapi sudah banyak orang yang menyadari keberadaan rekening perantara dan untuk membantu keamanan."

Kepercayaan dan kredibilitas, tambah Edward, sangat tergantung pada penjual toko online.

"Di lebih aman karena ada kontrol. Misalnya di Elevenia, kami punya seleksi yang kompleks. Ada juga Customer Service untuk membantu penjual dan pembeli."

Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, perlindungan konsumen menjadi salah satu masalah terpenting dalam industri .

Oleh karena itu dia mendesak pemerintah harus turun tangan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen toko online.

"Kalau ada barang yang tak sesuai, proses pengaduannya tidak jelas. Terutama yang di luar platform, mau mengadu ke mana kalau beli barang di Instagram?" kata Bhima saat dihubungi melalui telepon.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dinilainya belum terlalu efektif untuk menangani persoalan ini.

"Jangan cuma memandang ini urusan pelanggan dan tidak ada urusan dengan pemerintah. Di negara lain ada payung hukumnya, ada tempat pengaduan sistematis," kata Bhima.

Menurutnya seharusnya ada badan khusus , misalnya, di bawah kementrian perdagangan untuk mengurusi pengaduan konsumen.

"Kalau sekarang jika ada barang yang tidak sesuai, barang yang tidak sampai-sampai, arah lapornya ke polisi, bisa berlarut-larut. Kalau bisa diselesaikan ke badan khusus yang dibentuk pemerintah untuk pengaduan nasabah di bawah kementrian perdagangan, maka orang pun tidak trauma untuk membeli barang di ," tegasnya.

Jika kepercayaan meningkat dan pengaduan jelas, dia yakin masyarakat akan semakin percaya untuk berbelanja di toko online.

Masalah mendesak lainnya adalah soal keamanan data nasabah.

Menurutnya, di negara-negara Eropa dan Amerika, perlindungan data adalah kunci mencegah kejahatan: "Indonesia butuh undang-undang perlindungan data dalam hal perdagangan. Pada jasa keuangan kan ketat, bank tak boleh jual belikan data. Di perdagangan belum ada aturan."

Kajian INDEF meramalkan bahwa industri akan tumbuh 300?lam tiga tahun mendatang, dengan perkiraan jumlah transaksi pada tahun 2018 diperkirakan Rp100 triliun dan meningkat pada 2021 menjadi Rp 300 triliun.

"Sejalan dengan akses internet yang makin merata, gadget yang makin banyak dan investasi asing, industri akan makin berkembang," kata Bhima Yudhistira, sambil menambahkan bahwa pertumbuhan paling fantastis diramalkan akan berasal dari UKM yang berjualan langsung di media sosial.

"Ke depan hanya akan ada beberapa platform e-commerce yang akan bertahan, sedangkan akan terus tumbuh," kata Bhima.

Edward menilai tantangan untuk perusahaan dan platform adalah bagaimana membedakan platform satu dengan yang lainnya. Menurutnya pertumbuhan satu dan yang lain sangat mirip. Sekarang semua hanya beradu diskon, promosi, gratis ongkos kirim, dan itu bukan sesuatu yang bisa berkelanjutan.

Dia mengibaratkan persaingan industri seperti maraton, semua berlomba-lomba mengejar pertumbuhan sebesar-besarnya dan secepatnya. Masalahnya, siapa yang punya daya tahan paling kuat dalam jangka panjang?

"Tokopedia, Shopee, Bukalapak maupun Elevenia masih dalam perjalanan mencari bedanya seperti apa dan cara untuk sustain di masa depan," kata Edward.

Saat ini, data INDEF menyebutkan bahwa 51% penjualan di e-commerce adalah penjualan pakaian. Sisanya banyak didominasi oleh makanan dan minuman.

Di masa depan, Bhima optimistis akan ada perubahan perilaku pembeli, dari yang sekarang hanya membeli barang ritel ke barang mewah yang tahan lama.

Perubahan perilaku pembeli diamini Edward dengan barang-barang yang tak pernah terpikir akan dibeli secara online, misalnya tahu petis di Cikajang atau kulkas dua pintu, sudah mulai dibeli secara online karena kepraktisannya.

"Dulu orang belanja online karena murah, sekarang karena kenyamanan dan kepraktisannya," tutup Edward.