BI Proyeksikan Neraca Perdagangan Juni Surplus US$900 juta

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo
Sumber :
  • REUTERS/Willy Kurniawan

VIVA – Bank Indonesia memproyeksikan, neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2018 akan mengalami surplus sebesar US$900 juta. Hal ini didorong oleh meredanya impor pascamasa Ramadan dan Lebaran sempat mengalami lonjakan.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengatakan, pada masa Ramadan, impor memang melonjak, didorong oleh bahan makanan. Kondisi itu turut berkontribusi terhadap neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2018 yang mengalami defisit US$1,52 miliar.

"Dalam beberapa bulan terakhir, impornya cukup kuat karena beberapa hal, impor yang terkait dengan alat-alat strategis, impor yang terkait dengan kebutuhan infrastruktur dan impor yang terkait dengan bahan makanan karena menjelang Lebaran," ucap Perry saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin, 9 Juli 2018.

Karena itu, menurut Perry, defisit Mei 2018 yang mendorong kebutuhan impor cukup tinggi tersebut merupakan hal yang didorong oleh aspek musiman. Dengan meredanya faktor musiman tersebut, maka neraca perdagangan diperkirakan Perry, kembali alami surplus.

"Itu perkembangan impor yang memang secara perkembangan dan musiman. Dengan mulai meredanya itu, memang neraca perdagangan akan alami surplus. Sudah saya sampaikan di BI, surplus kemungkinan kurang lebih US$900 juta," ungkapnya.

Selain itu, Perry mengatakan, akibat faktor musiman di kuartal I dan II tersebut, maka transaksi berjalan turut terdorong, sehingga juga meningkat. Namun begitu, diperkirakan, dengan sudah meredanya faktor musiman tersebut, secara keseluruhan tahun neraca transaksi berjalan akan masih lebih rendah dari 2,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

"Tidak usah kemudian khawatir bahwa kuartal II memang secara musimannya, memang secara keseluruhan transaksi berjalannya itu devisanya agak lebih tinggi dari kuartal I. Secara musimannya memang seperti itu, tetapi secara tahunan kami perkirakan di kuartal III dan IV itu akan menurun, sehingga secara keseluruhannya akan masih lebih rendah 2,5 persen dari PDB," paparnya.