Jumlah Bank Kebanyakan, Perbanas Dukung OJK Kaji Aturan SPP

Dirut Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo bersiap mengikuti rapat dengar pendapat
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas), Kartiko Wirjoatmodjo, menyatakan dukungannya atas keputusan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengkaji ulang terkait kepemilikan tunggal perbankan atau yang dikenal dengan Single Presence Policy (SPP).

Kebijakan itu sebelumnya tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 39/POJK.03/2017 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia. Namun, saat ini, OJK tengah mengkaji supaya pemegang saham kendali dibolehkan untuk memiliki lebih dari satu bank, dan tidak perlu di merger saat akuisisi agar nilai keekonomisannya tidak hilang.

Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Utama Bank Mandiri Tbk itu menilai, hal itu perlu dilakukan lantaran perbankan yang ada di Indonesia saat ini, yang jumlahnya mencapai 115 lebih, membuat persaingan likuiditas untuk memperoleh Dana Pihak Ketiga atau DPK sudah tidak lagi sehat antara bank umum kegiatan usaha atau BUKU IV yang bermodal inti lebih dari Rp30 triliun dengan BUKU di bawahnya.

"Ini harus secara lebih cepat menurunkan jumlah bank, karena persaingan DPK ini kan sangat tidak balance ya antara bank BUKU IV, BUKU III dan BUKU II. Jadi memang idealnya menurut kami dari sisi Perbanas mungkin jumlah bank di Indonesia itu di kisaran 50 sampai 70 banklah. Jadi memang perlu ada konsolidasi," katanya saat ditemui di Plaza Mandiri, Jakarta, Senin, 28 Januari 2019.

Karenanya, Kartika yang akrab di sapa Tiko itu menegaskan, pengkajian ulang terkait SPP itu baik dilakukan oleh OJK, lantaran proses akuisisi bank yang memiliki modal inti besar dengan yang kecil dapat cepat dilakukan karena proses merger tidak perlu lagi dilakukan.

Dengan begitu, dia menegaskan, itu akan memacu perbankan dengan modal besar untuk semakin agresif melakukan akuisisi, sebab bank yang akan diakuisisi oleh bank bermodal besar itu dapat dikhususkan untuk proses bisnis tertentu.

"Sehingga untuk bank yang berminat melakukan akuisisi tidak langsung harus serta merta memerger untuk penuhi syarat itu, sehingga itu mungkin bisa memotivasi bank-bank yang punya skala usaha dan modal cukup untuk akuisisi, tapi tidak mungkin harus dimerger," tegas dia.

"Jadi saya rasa itu satu kebijakan yang sedang dikaji, itu positif kita melihatnya. Karena itu mungkin suatu insentif supaya bank-bank yang punya skala berminat untuk lakukan akuisisi dari bank-bank lain, sehingga mempercepat penurunan jumlah bank di Indonesia," kata Tiko.

Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK, Heru Kristiyana, mengatakan pengkajian ulang terhadap aturan itu diupayakan lantaran OJK ingin bank dari kelompok BUKU IV dapat mengambil alih bank BUKU 1 atau BUKU 2, sehingga bank tersebut dapat dijadikan bank yang memiliki fokus berbeda dengan induknya.

Sebab, menurut Heru, dengan dimergernya bank yang dimiliki oleh satu pemegang saham pengendali sebagai cara agar tidak melanggar Peraturan OJK Nomor 39/POJK.03/2017 tersebut, secara ekonomis tidak akan memberikan manfaat bagi bank besar yang mengakuisisi bank kecil.

Namun, jika setelah proses akuisisi bank tersebut tidak dimerger melainkan dijadikan bank khusus, seperti khusus menangani segmen digital atau usaha mikro, kecil, dan menegah (UMKM), proses akuisisi dikatakannya akan lebih bermanfaat. Karena bank kecil yang diakuisisi tersebut akan lebih mampu memberikan kontribusi untuk induknya dan sebaliknya. (ase)