Pemerintah Kucurkan Dana 'Jumbo' ke PLN?

PT PLN Persero (Perusahaan Listrik Negara)
Sumber :
  • vivanews/Andry Daud

VIVAnews - Pemerintah mengelontorkan dana jumbo sebesar Rp153,83 triliun untuk sejumlah Badan Usaha Milik Negara, yang terkena dampak pandemi Covid-19. Kucuran dana tersebut dialokasikan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2020, untuk membiayai program Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN akibat dampak pademi Covid-19.

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menjelaskan alokasi dana itu dibagi dalam tiga kategori terdiri dari pembayaran utang pemerintah kepada BUMN sebesar Rp108,48 triliun, penyertaan modal negara (PMN) Rp25,7 triliun, dan dana talangan Rp19,65 triliun.

"Pembayaran utang pemerintah itu di antaranya dibayarkan kepada PT PLN sebesar Rp45,42 triliun, untuk pelunasan dana kompensasi dari pemerintah kepada PLN," kata Fahmy dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 4 Juni 2020.

Dana kompensasi tersebut merupakan utang pemerintah kepada PLN sebagai konsekwensi kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik sejak 2017 hingga kini. Padahal, biaya keekonomian produksi listrik yang ditetapkan berdasarkan 3 variabel utama, yakni kurs rupiah terhadap dolar AS, ICP (Indonesia Crude Price), dan inflasi pada tahun berjalan, sudah mengalami kenaikan dalam 3 tahun terakhir.

Selisih antara biaya keekonomian produksi listrik dengan tarif listrik ditetapkan pemerintah diperhitungkan sebagai kompensasi yang dibukukan sebagai utang pemerintah kepada PLN. Pada 2017, PLN mencatatkan kompensasi sebesar Rp7,46 triliun yang baru dibayar pemerintah pada 2019. Dana kompenasi pada 2018 sebesar Rp23,17 dan pada 2019 sebesar Rp22,25 triliun, total dana kompensasi pada 2018 dan 2019 sebesar Rp45,42 triliun, yang baru akan dibayar pada 2020.

"Pembayaran dana kompensasi dari APBN 2020 itu dimasukkan dalam anggaran program PEN akibat dampak pandemi Covid-19," ujar Fahmy.

Selain dana kompensasi sebesar Rp45,42 triliun, PLN diketahui juga memperoleh PMN sebesar Rp5 triliun. Tambahan PMN itu masih sangat wajar, lantaran PLN menjalankan berbagai penugasan pemerintah dengan biaya yang tidak kecil.

Untuk mencapai 100 persen rasio eletrifikasi, yang kini sudah mencapai 98,3 persen, PLN harus membangun pembangkit listrik, jaringan distribusi dan transmisi di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di daerah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal). Selama ini, sumber dana yang digunakan PLN adalah sumber dana eksternal, utamanya dari global bond.

Penambahan PMN kepada PLN itu diharapkan dapat memperbaiki rasio utang dibanding modal sendiri (debt to equity ratio). PLN juga menjalankan penugasan pemerintah dalam pengembangan Energi Baru Terbarukan yang digunakan dalam pembangkit listrik tenaga Surya, Tenaga Bayu, Biothermal, dan sebagainya.

Selama masa pandemi Covid-19, PLN juga menjalankan tugas pemerintah untuk menggratiskan pembayaran listrik bagi 24 juta pelanggan dengan daya 450 Volt Ampere (VA) dan memberikan diskon 50 persen bagi 7 Juta pelanggan dengan daya 900 VA bersubsidi.

Insentif itu dapat meringankan beban rakyat miskin dan rentan miskin, yang terpuruk selama pandemi Covid-19. Keringanan biaya listrik itu berlaku selama tiga bulan yakni April, Mei, dan Juni 2020, membutuhkan dana sekitar Rp3,57 triliun. Untuk perpanjangan dan perluasan kebijakan itu tentunya dibutuhkan biaya yang lebih besar lagi.

Oleh karena itu, PLN sesungguhnya tidak memperoleh kuncuran dana jumbo sebesar Rp50,42, tetapi PLN memperoleh pembayaran utang pemerintah sebesar Rp45,42 dalam bentuk pelunasan dana kompensasi dan tambahan PMN sebesar Rp5 triliun untuk pembiayaan penugasan pemerintah.

"Hanya, kucuran dana sebesar itu dibarengkan dengan alokasi dana program PEN akibat dampak pandemik Covid-19, sehingga seolah-olah PLN mendapat insentif dana jumbo dari APBN 2020," ujarnya.