Warga Indonesia di Melbourne Bidik Peluang Bisnis Suvenir Australia

Bisnis cenderamata di Melbourne banyak diminati warga Indonesia baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli.
Sumber :
  • abc

Pembatasan di tengah pandemi telah menghambat aktivitas dagang di pasar tertua Victoria di Melbourne. Namun, beberapa warga Indonesia dapat memainkan peluang dari situasi tersebut.

Alfi Syahriani hanya punya waktu tiga hari untuk berburu barang-barang dari Australia untuk jadi oleh-oleh sebelum ia dan keluarganya pulang ke Indonesia bulan Juli lalu.

Dalam situasi kota Melbourne yang saat itu tengah menjalani lockdown, pilihan Alfi untuk membeli cenderamata sangat terbatas.

"Gara-gara pandemi kan pasar tutup, dan kami waktu itu juga sibuk banget mengosongkan rumah sebelum pulang … jadi kami akhirnya mencari-cari [cenderamata] yang [dijual] online," kata Alfi.

Beruntung, Alfi menemukan toko penjual cenderamata milik warga Indonesia di Melbourne dari sebuah kelompok Whatsapp.

Menurutnya, harga yang ditawarkan toko tersebut relatif lebih murah dibanding harga penjual online yang lain, meskipun terhitung masih lebih mahal jika dibandingkan dengan harga cenderamata di pasar.

"Beda harganya sampai dua kali lipat. Gantungan kunci di pasar satunya hanya $1, ini saya beli $2. Tapi memang kualitas yang dijual Mas Oky [pemilik toko] bagus, secara tampilan juga lebih bagus."

Selain gantungan kunci, Alfi juga membeli setidaknya 40 gantungan kunci dan hiasan kulkas, serta tas, tempat pensil, dan beberapa jenis pajangan.

"Saya lebih suka beli di pasar sebenarnya, karena lebih murah. Di pasar masih bisa menawar [harga], jadi bisa dapat lebih banyak, tidak seperti harga online yang fix [tetap]."

Meraih peluang di tengah pandemi

Kebutuhan Alfi dan warga Indonesia lainnya yang membutuhkan cenderamata untuk jadi oleh-oleh sebelum meninggalkan Australia menjadi perhatian Muhammad Ilham Rizky, akrab disapa Oky.

Oky bekerja sama dengan mantan bossnya di Queen Victoria Market yang harus menutup toko karena aturan di tengah pandemi. (Supplied)

Sempat bekerja di sebuah toko cenderamata di Queen Victoria Market (QVM), pasar tertua di negara bagian Victoria, Oky akhirnya menghubungi mantan bossnya untuk bekerja sama.

Sesuai dengan aturan pemerintah terkait COVID-19, pedagang yang diizinkan untuk tetap beroperasi hanyalah dari bidang makanan, minuman atau perhotelan dengan pilihan menawarkan layanan pesan-antar.

Toko cenderamata mantan boss Oky terpaksa tutup, karena tidak termasuk dalam kategori "essential" atau penting.

"Ketika dia [pemilik toko] mendukung, kami mulai ambil foto dan menjualnya online," kata Oky kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

Cenderamata tersebut ia jual di situs bisnis online, yang dijalankannya bersama lima warga Indonesia lainnya, sejak "lockdown" Victoria tahap pertama.

Oky (tengah) dan warga Indonesia lainnya menjalankan bisnis online AllGood Journey sejak awal pandemi di Australia. (Supplied: Muhammad Ilham Rizky)

Bisnis online bernama AllGood Journey yang juga menjual pakaian sederhana tersebut merupakan hasil putar otak Oky dan temannya di tengah ketidakpastian pandemi.

Tanpa ia duga, produk cenderamata yang dapat diantar sampai rumah tersebut "terjual cukup banyak".

"Kebanyakan [dibeli] orang Indonesia yang mau pulang. Rata-rata pesan ke kami karena QVM sudah tutup dan tidak ada [penjual] yang lain," kata Oky.

"[Penjualan] lumayan padat karena hampir setiap hari ada [pembeli]."

Karena tingginya permintaan, pria asal Medan tersebut sempat merasa kewalahan ketika harus mengantarkan cenderamata ke rumah masing-masing pembeli.

"Pertamanya saya kira kalau dua orang saja saya bisa antar, tapi lama-lama, setiap hari ada permintaan. Akhirnya saya berikan syarat akan antar bila sudah ada 11 pembeli lain," katanya.

Sayangnya, bisnis tersebut harus tutup sementara sejak "lockdown" Melbourne tahap keempat awal Agustus lalu, sehingga tidak memungkinkan bagi Oky untuk mengambil barang dari gudang.

Yudha (paling kiri) kehilangan sumber pendapatannya sebagai karyawan di toko cenderamata QVM sejak penutupan. (Supplied: Pranata Yudha Bakti)

Karyawan Indonesia kehilangan 80 persen pendapatan

Nasib baik toko cenderamata yang dibantu Oky tidak dialami semua pemilik toko di QVM.

Beberapa pemilik toko memilih untuk tidak menjalankan bisnisnya secara online.

Keputusan seperti ini mempengaruhi nasib pada karyawan toko, yang harus kehilangan pekerjaan mereka.

Termasuk salah satunya adalah warga Indonesia bernama Pranata Yudha Bakti, yang sudah dua tahun bekerja di sebuah toko cenderamata QVM.

"Saya kehilangan 80 persen pendapatan dari QVM dan dampaknya sangat kerasa saat tidak bekerja," kata Yudha kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

Namun, pria asal Bali ini menerima kabar bahwa menjelang pelonggaran aturan akhir Oktober nanti, toko akan kembali buka dan ia akan bekerja kembali.

"Saya tetap ditawarkan kerja karena bossnya akan tetap buka "stall" [kios] di QVM. Pelanggan terbesar [memang] dari turis," katanya.

"Kata bossnya buka saja, yang penting kamu kerja."

Kunjungan ke QVM "menurun pesat" CEO Queen Victoria Market Stan Liacos mengatakan 30 persen pengunjung pasar di situasi normal adalah turis domestik dan internasional. (Supplied: Queen Victoria Market)

Menurut Stan Liacos, CEO dari Queen Victoria Market, kunjungan pasar telah menurun pesat, terutama sejak aturan radius lima kilometer berlaku awal Agustus lalu.

Dampak signifikan ini juga dirasakan melihat kebijakan Pemerintah pusat maupun negara bagian untuk menutup perbatasan.

"Pada kondisi normal, 30 persen dari kunjungan pasar adalah dari turis domestik dan internasional," katanya kepada ABC Indonesia.

Namun, beberapa bantuan telah ditawarkan kepada pedagang, melalui "Trader Support Package" yang "meliputi peringanan besar biaya sewa dan dukungan lainnya".

CEO Queen Victoria Market Stan Liacos mengatakan 30 persen pengunjung pasar di situasi normal adalah turis domestik dan internasional. (Facebook: ABC Central Victoria)

Melalui bantuan tersebut, sejak April hingga Oktober, pedagang yang termasuk dari bidang perhotelan dan "non-essential" lainnya mendapatkan keringanan biaya sewa hingga 100 persen.

"Fokus utama manajemen QVM dalam krisis ini adalah untuk menjaga agar pasar tetap buka," kata Stan.

"[Juga] mengikuti aturan kesehatan dan keamanan pemerintah dan mendukung pedagang sehingga bisnis mereka bertahan dan tetap ada di pasar."

Sering dikenal dengan sebutan "Vic Market" atau "Queen Vic", pasar tersebut sudah beroperasi sejak 140 tahun yang lalu.

"Landmark" kota Melbourne ini memiliki lebih dari 600 bisnis kecil yang menjual beragam produk bagi warga Australia dan pendatang.

Belum ada laporan berapa total kerugian pasar tersebut akibat pandemi COVID-19.