UU Cipta Kerja Diklaim Buat Reformasi Birokrasi Berskala Besar

Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Sumber :
  • Dok. BKPM

VIVA – Semangat reformasi birokrasi yang tertuang dalam Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja adalah bagian dari konsekuensi logis gerakan reformasi birokrasi yang selama ini gencar dilakukan di Indonesia.

Hal itu diungkapkan oleh Peneliti Kebijakan Publik dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, dalam diskusi daring bertajuk Reformasi Birokrasi 4.0: Peluang dan Tantangan Implementasi UU no. 11/2020 tentang Cipta Kerja yang digelar oleh Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks).

UU Cipta Kerja itu sebetulnya konsekuensi logis dari perubahan-perubahan atau gerakan reformasi di Indonesia. Saya melihat, UU ini bagian dari serangkaian perubahan yang sudah dilakukan terkait reformasi birokrasi,” kata Saidiman dikutip Rabu 9 Desember 2020.

Gerakan reformasi birokrasi, kata Saidiman, bukan baru dilakukan kala pemerintahan Jokowi. Tetapi itu sudah diupayakan sejak era reformasi. Gerakan reformasi birokrasi bahkan terjadi di seluruh belahan dunia sedari dulu untuk menuntut perubahan birokrasi lama yang tidak efisien dan lama.

“Birokrasi lama ini dianggap tidak efektif. Sesuatu yang seharusnya bisa cepat diperlambat. Sesuatu yang harusnya bisa diurus sehari, itu bisa berbulan-bulan,” ujar Alumnus Crawford School of Public Policy, Australian National University itu.

Saidiman menjelaskan, di dunia pada 1980-1990-an ada gerakan reformasi birokrasi yang disebut New Public Management, yang menuntut perubahan sistem birokrasi berorientasi output dan menerapkan manajerial ala perusahaan swasta pada birokrasi pemerintahan.

Namun gerakan ini, lanjutnya, dianggap kurang memadai sehingga dikoreksi oleh gerakan reformasi birokrasi baru yang tuntutannya adalah birokrasi pemerintahan yang lebih efektif, transparan dan efisien dalam memberikan pelayanan dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

“Intinya, gerakan ini menuntut negara lebih efektif, ramping dan saat yang sama bisa memberikan pelayanan yang maksimal kepada publik,” jelasnya.

Lebih jauh Saidiman menyebut, UU Cipta Kerja sejalan dengan gerakan reformasi birokrasi baru itu. Sebab, UU Cipta Kerja perlu dilihat berkesinambungan dengan reformasi birokrasi yang selama ini dilakukan di Indonesia sejak 1999 dan dilakukan oleh pemimpin sebelum Jokowi dan kepala-kepala daerah yang reformis dan memiliki komitmen pada tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien dan transparan. 

“Reformasi birokrasi sebelum ada UU Cipta Kerja itu dilakukan secara sporadis di daerah-daerah. Kekuatan reformasi itu ada di pemimpin-pemimpin daerah. Misalnya, di Jakarta, ada e-budgeting, aplikasi lapor Qlue, dan open recruitment untuk jabatan strategis di DKI yang dilakukan Ahok,” tegas Saidiman. 

Maka reformasi birokrasi setelah ada UU Cipta Kerja tidak lagi bergantung pada munculnya pemimpin-pemimpin daerah yang reformis. “UU Cipta Kerja menjadikan reformasi birokrasi lebih sistematis dan lebih institusional dalam skala besar,” ujar dia.

Itu mengapa Saidiman menyimpulkan, kebutuhan untuk menghadirkan undang-undang seperti UU Cipta Kerja merupakan tuntutan reformasi birokrasi yang lebih institusional dan tidak sporadis lagi dan niscaya dibutuhkan hadir, cepat ataupun lambat.

“UU Cipta Kerja juga selain menjadi rangkaian reformasi birokrasi, ini juga menurut saya bagian dari rangkain transformasi ekonomi yang memang dicita-citakan oleh oleh Presiden Joko Widodo sedari awal,” katanya.

Ia menjelaskan, ada tiga hal yang dilakukan Jokowi untuk transformasi ekonomi. Pertama, pembangunan infrastruktur secara merata dan massif sejak periode pertama. Kedua, pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang dicanangkan pada periode kedua ini. Lalu ketiga, reformasi institusional yang bentuknya adalah Omnibus Law Cipta Kerja. (ren)