Ada UU Cipta Kerja Negara Dinilai Bisa Atasi Bencana Demografi

Para pencari kerja beristirahat disela-sela acara Indonesia Spectacular Job Fair “JOB FOR CAREER” Festival 2019 di kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA – Lahirnya Undang Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diharapkan membuat pemerintah dapat meningkatkan investasi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja yang tentunya mengakomodasi kebutuhan calon pekerja serta pekerja.

Hal itu disampaikan oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam, dalam diskusi daring tentang UU Cipta Kerja, dikutip pada Rabu 16 Desember 2020. 

Menurut Piter, dengan UU Cipta Kerja maka investasi besar yang dibutuhkan Indonesia bisa meningkat dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu, UU tersebut bisa memperbaiki kondisi dunia usaha.

"Meningkatnya investasi ini juga akan memperbaiki kondisi dunia usaha. Jika dunia usaha membaik, maka akan memberikan manfaat bagi calon pekerja dan pekerja," kata Piter.

Ia menuturkan, saat ini Indonesia sedang berada di puncak bonus demografi. Untuk memanfaatkan bonus demografi, Indonesia harus tumbuh rata-rata 8 persen setiap tahun. Sebab, kalau ekonomi Indonesia tidak bisa tumbuh dengan sedemikian tinggi, tidak bisa disebut bonus demografi, melainkan bencana demografi. 

“Itu kenapa? Masyarakat kita itu didominasi oleh kelompok muda. Angkatannya masih milenial. Masih kuliah dan baru lulus. Kalau ekonomi kita tidak mampu tumbuh 8 persen setiap tahun, maka setiap tahun akan menumpuk permasalahan. Menumpuk pengangguran baru. Jadi ini persoalan yang harus diselesaikan dan alasan-alasan kenapa kita sangat memerlukan UU Cipta Kerja,” jelasnya.

Piter menambahkan, untuk bisa tumbuh rata-rata 6 persen atau 6,8 persen setiap tahun, Indonesia membutuhkan investasi yang sangat besar. Sementara itu, angka investasi yang masuk tidak cukup untuk mendongkrak mencapai tingkatan yang diharapkan, yakni rata-rata 6 sampai 7 persen per tahun. 

Makanya, kata dia, untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan negara menengah atau middle income trap, Indonesia harus tumbuh rata-rata 6,8 persen selama 10 tahun ke depan. 

"Bayangkan, untuk 6 persen, dalam 10 tahun terakhir tidak pernah sampai. Padahal ini rata-rata harus 6,8 persen. Ini artinya, ada waktunya kita tumbuh 5 persen, tapi ada waktunya kita harus tumbuh 6,8 persen. Jadi angka ini bukan main berat," kata Piter.

Adapun solusinya, untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi melejit seperti China yang bisa menembus angka rata-rata 10 persen setiap tahun, pemerintah harus membuat terobosan yang luar biasa, salah satunya menciptakan UU sapu jagat. 

Ekonom dari Universitas Indonesia ini juga menyoroti, kenapa investasi di Indonesia tumbuh lambat. Menurutnya, karena banyak sekali masalah yang harus dibenahi, seperti perizinan usaha atau investasi, pembebasan lahan, ketenagakerjaan, isu lingkungan, koordinasi pusat-daerah, inkonsistensi pejabat pemerintah, dan banyak hal lainnya.

Rentetan persoalan itulah, yang menjadikan alasan utama pemerintahan Jokowi begitu bersemangat untuk melanjutkan pembahasan Omnibus Law UU Cipta Kerja. pembahasan ini, jelas dia, tidak bisa dilakukan secara parsial karena kebutuhannya begitu mendesak dan harus dilaksanakan secara serentak. (art)