Kaleidoskop 2020: Ujian Ekonomi Indonesia

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Sumber :

VIVA – Kurang dari dua pekan lagi 2020 akan berakhir. Tahun tikus berelemen logam ini akan menjadi catatan yang pahit bagi dunia, tak terkecuali Indonesia.

Wabah virus Corona atau COVID-19 yang merebak dari Wuhan, China ke banyak negara telah membuat ekonomi dunia tertekan, termasuk Indonesia. Pandemi tersebut terus menjalar hingga menyebabkan krisis, mulai dari kesehatan, sosial hingga ekonomi.

Meski COVID-19 telah heboh di dunia sejak akhir 2019, di Indonesia, kasus terkonfirmasi positif pertama kalinya baru tercatat pada 2 Maret 2020. Tak butuh waktu lama, dua pekan kemudian atau 15 Maret 2020, pemerintah mengumumkan sudah ada 117 warga yang terpapar COVID-19.

Presiden Joko Widodo bergerak cepat mengumumkan pada esok harinya, apa saja langkah pemerintah menangani COVID-19 yang mulai merwabah. Dengan berbagai pertimbangan, khususnya ekonomi, Jokowi pun memutuskan tidak melakukan karantina wilayah secara total atau lockdown seperti yang dilakukan banyak negara di dunia.

Jokowi lalu menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 pada 31 Maret 2020. Aturan itu akhirnya menjadi dasar pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagai respons terhadap COVID-19.

Pemerintah daerah bisa membatasi pergerakan warganya asalkan mereka telah mendapat izin dari Kementerian Kesehatan melalui UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Sekolah dan tempat kerja, kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum akhirnya mulai dibatasi. 

Aturan lain yang menjadi dasar penanganan COVID-19 adalah Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020. Keppres itu menyatakan pandemi virus Corona sebagai bencana nasional dan membuat pemerintah bisa lebih fleksibel dalam menangani COVID-19 hingga dari sisi fiskal. 

Keputusan Presiden Jokowi tidak melakukan lockdown menuai pro dan kontra di masyarakat. Di satu sisi sangat berisiko semakin menyebarnya COVID-19. Di sisi lain keputusan itu sedikit menyelamatkan Indonesia dari jebakan pendapatan kelas menegah yang menghambat RI menjadi negara maju.

Benar saja, pada masa awal pandemi pada kuartal I-2020, ekonomi RI tercatat tumbuh sebesar 2,9 persen atau turun dari capaian kuartal IV-2020 sebesar 4,97 persen. Jika dibandingkan kuartal I-2019 turunnya lebih besar yang kala itu mencapai 5,02 persen. Sinyal terjadinya resesi ekonomi pun sudah mulai menguat. 

Pada kuartal II-2020 atau periode April hingga Juni, saat PSBB sedang ketat-ketatnya diberlakukan, seluruh sektor ekonomi pun terhantam kebijakan tersebut. Sinyal resesi semakin menguat ketika diumumkan bahwa pada kuartal itu ekonomi RI tumbuh minus 5,32 persen.

Pemerintah bukannya tinggal diam. Ratusan triliun stimulus fiskal dari APBN dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) digelontorkan ke berbagai sektor. Mulai dari bansos langsung ke masyarakat, pekerja hingga UMKM dan usaha mikro pun digelontorkan. 

Tak hanya itu, dari sisi keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan juga mengeluarkan berbagai kebijakan guna meringankan beban masyarakat hingga dunia usaha yang terdampak pandemi.

Mempertimbangkan salah satunya dampak ekonomi dari PSBB, pada awal kuartal III-2020, pemerintah daerah yang menerapkan PSBB, khususnya Ibu Kota, akhirnya memperlonggar aturan itu. Era PSBB transisi menuju kenormalan baru atau new normal pun berlaku.

Roda ekonomi pun sudah mulai bergerak karena kegiatan usaha mulai diperbolehkan beroperasi secara terbatas dengan protokol kesehatan yang ketat. Program PEN khususnya bantuan sosial pun semakin masif digelontorkan pemerintah.

Namun, apa mau dikata, krisis ekonomi Indonesia tak bisa terelakkan. Pada 5 November 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 terkontraksi hingga minus 3,49 persen secara tahunan atau year on year (yoy). 

Artinya, RI resmi masuk masa krisis ekonomi karena sudah dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonominya negatif. Meski demikian, RI tak sendiri. Ekonomi di hampir seluruh negara di dunia mengalami 'ujian' yang sama.

Bank Dunia bahkan menyebutkan, akibat virus tersebut, perekonomian dunia akan mengalami resesi terburuk pada 2020 atau turunnya ekonomi terdalam sejak terjadinya Perang Dunia II. Resesi itu juga dikatakan sebagai yang pertama terjadi akibat pandemi sejak 1870.

Dalam Global Economic Prospects edisi Juni 2020, Bank Dunia memperkirakan ekonomi dunia akan minus 5,2 persen tahun ini. Sementara itu, untuk Indonesia, Bank Dunia memperkirakan akan minus 2,2 persen dan menjadikan resesi pertama kalinya sejak dua dekade terakhir.

Kondisi krisis tersebut tentu tidak hanya ditunjukkan dari indikator anjloknya pertumbuhan ekonomi. Berikut ini VIVA rangkumkan berbagai indikator yang selalu muncul saat terjadinya krisis, termasuk akibat COVID-19 terhadap ekonomi RI sepanjang 2020.

1. Rupiah melemah di atas Rp16.000 Per Dolar AS

Photo :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

Pandemi COVID-19 telah menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Rupiah terus tertekan ke level atas Rp16.000 per dolar AS, meskipun tak sampai sentuh level Rp17.000 per dolar AS sepanjang 2020.

Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, rupiah pada tahun ini menyentuh titik terlemahnya di level Rp16.608 pada 23 Maret 2020. Padahal dari 1 Januari-26 Februari 2020 masih bergerak di kisaran atas Rp13.600.

Gubernur BI, Perry Warjiyo menjelaskan, tersentuhnya angka psikologis nilai tukar rupiah tersebut terhadap dolar AS berbeda dengan kondisi saat krisis keuangan atau moneter yang terjadi pada 1998 maupun 2008. Sebab, fundamental ekonomi Indonesia dijaminnya kuat.

"Harap disadari, yang terjadi saat ini sangat berbeda dengan 1998 dan 2008. Yang terjadi sekarang kepanikan seluruh pasar keuangan global, termasuk pemilik modal di seluruh dunia karena begitu cepatnya merebak virus ini," kata dia saat telekonferensi, Maret 2020.

COVID-19, kata Perry, membuat para pelaku pasar keuangan melakukan aksi jual terhadap aset-aset keuangannya di berbagai negara, termasuk Indonesia. Mereka lebih memilih untuk mengalihkan aset-aset tersebut dalam bentuk tunai dolar Amerika Serikat.

"Dalam kondisi ini investor dan pelaku pasar global melepas semua asetnya yang mereka miliki apakah saham, apakah obligasi, emas, dan mereka menjual dalam dolar. Dalam konteks itu Indonesia juga terkena, kita tidak sendiri, seluruh negara mengalami hal sama," tegasnya.

2. IHSG Anjlok, Trading Halt Diberlakukan

Photo :
  • ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG tercatat menyentuh level 4.895 pada pukul 15.33 WIB, Kamis, 12 Maret 2020 atau turun 5,01 persen dalam sehari sejak diperdagangkan pada pagi harinya.

Sesuai ketentuan yang telah diberlakukan pihak Bursa Efek Indonesia per hari Rabu 11 Maret 2020, maka pihak BEI pun telah melakukan 'trading halt' atau penghentian perdagangan karena indeks telah turun mencapai 5 persen.

Diketahui, pemberlakuan trading halt ini merupakan tindak lanjut dari Surat Perintah Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor: S-274/PM.21/2020.

Trading halt juga merujuk pada Surat Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Nomor: Kep-00024/BEI/03-2020 tanggal 10 Maret 2020, perihal Perubahan Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di Bursa Efek Indonesia dalam Kondisi Darurat.

3. Pengangguran melonjak

Photo :
  • U-Report

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan jumlah pengangguran akibat dampak pandemi COVID-19 di Indonesia. Pengangguran bertambah 2,67 juta orang dari Agustus 2019 menjadi 9,77 juta pada Agustus 2020.

Adapun dari jumlah orang yang bekerja pada periode itu, 82,02 juta orangnya pekerja penuh. Catatan tersebut turun 9,46 juta orang dari catatan pada Agustus 2019. Sedangkan pekerja paruh waktu dan setengah menganggur naik.

Untuk pekerja paruh waktu naik hingga 4,32 juta orang menjadi 33,34 juta orang. Sedangkan setengah penganggur naik 4,83 juta orang dari Agustus 2019 menjadi 13,09 juta orang pada Agustus 2020.

"Kalau dilihat pandemi membawa dampak luar biasa kepada ketenagakerjaan di mana pekerja penuh jadi turun, pekerja tidak penuh dan setengah pengangguran naik," tuturnya.

Dengan catatan tersebut, tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2020 dikatakannya melonjak menjadi 7,07 persen. Sebelumnya pada Agustus 2019 hanya 5,23 persen dan pada Agustus 2018 sebesar 5,3 persen.

Adapun khusus penduduk usia kerja yang langsung terdampak COVID-19 dikatakan Suhariyanto mencapai 29,12 juta orang. Dari situ, 2,56 juta orang pengangguran karena COVID-19.

760 ribu orang bukan angkatan kerja karena COVID-19, sebanyak 1,77 juta orang sementara tidak bekerja karena COVID-19 dan 24,03 juta orang merupakan bekerja dengan pengurangan jam kerja karena COVID-19.

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020

Photo :
  • Twitter @jokowi

Usai berbagai tekanan ekonomi mulai tergambar jelas dari beberapa indikator makro akibat COVID-19, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 pada 31 Maret 2020.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan, perppu tersebut merupakan landasan hukum dalam mengatasi kondisi kegentingan yang memaksa pemerintah mengambil langkah antisipatif untuk mencegah destruksi COVID-19 yang lebih tinggi.

Secara garis besar, materi pokok Perppu 1 2020 meliputi Kebijakan Keuangan Negara yang pada intinya terdiri atas penyesuaian batasan defisit APBN, penggunaan sumber pendanaan alternatif anggaran, pergeseran dan refocusing anggaran pusat dan daerah serta pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional untuk kesinambungan sektor riil dan sektor keuangan.

Sri Mulyani mengatakan, defisit APBN tahun ini diperkirakan akan melampaui 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau melebar ke Rp1.039,2 triliun dari semula ditargetkan Rp307,2 triliun atau 1,76 persen dari PDB.

"Pemerintah memerlukan langkah-langkah cepat dan extraordinary untuk bisa melakukan penanganan COVID-19, dampak penyebarannya, dampak sosial-ekonomi, serta stabilitas sistem keuangan,” kata Sri, April 2020.

Kemudian, perppu juga terkait pokok materi Kebijakan Sektor Keuangan meliputi perluasan kewenangan Komite Stabilitas Sektor Keuangan dan ruang lingkup rapat KSSK; penguatan kewenangan Bank Indonesia, penguatan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk mencegah risiko yang membahayakan stabilitas sistem keuangan.

Perppu itu kemudian disahkan menjadi Undang Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-undang.