UU Cipta Kerja Beri Harapan Pulihnya Ekonomi RI di Tahun Baru

Ilustrasi suasana gedung perkantoran di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Adanya reformasi regulasi dan kemudahan berusaha dalam Undang Undang Cipta Kerja dapat mendorong pertumbuhan bisnis dan investasi di Tanah Air. Kehadiran UU ini juga menjadi akselerasi pemulihan ekonomi nasional pascapandemi COVID-19 di Indonesia dan dunia.

Pengamat Hukum Pembangunan Ekonomi dari Universitas Kristen Indonesia (UKI), Dhaniswara K Harjono, menilai, apa yang dilakukan pemerintah tepat dalam menghadirkan produk hukum baru (UU Cipta Kerja) yang memberikan harapan di tengah pandemi COVID-19. 

Menurut dia, UU Cipta Kerja yang terdiri atas 116 pasal ini mampu merevisi 77 undang-undang sebelumnya yang ternyata memiliki isi yang saling tumpang tindih dan tidak memiliki kepastian.

Adapun UU Cipta Kerja ini menyentuh masalah perizinan dan penanaman modal, di mana implementasi dari UU ini sebagai upaya meningkatkan investasi yang akan membuka lapangan kerja lebih luas. 

"Salah satu sisi positif dari UU Cipta Kerja, kalau kita bikin perusahaan mudah, nggak perlu banyak modal. Kalau dulunya minimal Rp50 juta, sekarang nggak ada," ujar Dhaniswara dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu 2 Januari 2021. 

Dia juga menilai, UU Cipta Kerja sangat diperlukan mengatasi berbagai permasalahan yang ada serta tantangan ke depan. Seperti memanfaatkan bonus demografi yang akan dialami Indonesia dalam 10-20 tahun mendatang (2020-2040).

Selain itu, UU ini dibutuhkan untuk menyederhanakan, menyinkronkan, dan memangkas regulasi dikarenakan terlalu banyaknya aturan yang diterbitkan di pusat serta daerah yang menghambat kegiatan berusaha dan penciptaan lapangan kerja.

"Kita akan dihadapkan pada persoalan masa depan, antara lain bonus demografi pada 2030 dan puncaknya pada 2040. Artinya jumlah usia produktif komposisinya akan jauh lebih besar. Kita perlu solusi untuk mengantisipasi bonus demografi ini dengan peningkatan lapangan kerja," kata Dhaniswara yang juga menjabat rektor UKI tersebut.

Berdasarkan survei BPS, kata dia, pada 2030 setidaknya ada tambahan 52 juta penduduk usia produktif yang butuh lapangan pekerjaan. Ironisnya justru saat ini Indonesia dihadapkan pada persoalan regulasi yang menghambat penyediaan lapangan kerja.

Berdasarkan data, saat ini ada 44 ribu aturan yang menghambat iklim investasi maupun dunia usaha mulai dari perpres, perppu, PP, perda, pergub, dan lainnya. Sehingga regulasi di Indonesia baik di pusat maupun daerah terlalu gemuk. Hal ini sangat menghambat orang yang ingin berusaha atau membuka lapangan kerja di Indonesia.

“Bonus demografi ini seperti pisau bermata dua, kalau tidak hati-hati ini akan membawa malapetaka, sehingga usia-usia produktif ini harus kita siapkan dengan baik," ujarnya.