Twitter Hapus Cuitan China tentang Klaim Perempuan Uighur

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc
Getty Images
Seorang perempuan menggendong anak di Provinsi Xinjiang.

Twitter menghapus unggahan Kedutaan Besar China di Amerika Serikat yang mengklaim kebijakan mereka di Xinjiang telah `membebaskan pemikiran` para perempuan Uighur.

Cuitan itu dilengkapi artikel dari kantor berita milik pemerintah China. Berita tersebut menyebut bahwa lewat pendekatan emansipatoris, perempuan Xinjiang kini bukan lagi "mesin melahirkan bayi".

Klaim itu berkaitan dengan kebijakan China terdapat dugaan ekstremisme berbasis agama oleh warga Uighur.

Otoritas China selama ini dituding memaksakan program sterilisasi dan pemakaian alat kontrasepsi terhadap perempuan Uighur.

Program itu dituding merupakan upaya China untuk mengontrol populasi masyarakat Uighur. China selalu membantah berbagai tuduhan tersebut.

Masyarakat Uighur adalah kelompok Muslim yang merupakan minoritas di China. Sebagian besar mereka menetap di Xinjiang, provinsi di sisi barat laut China.

Cuitan yang dihapur Twitter itu diunggah 7 Januari lalu. Lewat unggahan itu, Kedubes China juga mengklaim bahwa perempuan Uighur saat ini "lebih percaya diri dan mandiri".

Hal itu mereka sebut merupakan hasil dari pendidikan "kesehatan reproduksi" yang "dipromosikan" kepada mereka.

Selama akhir pekan lalu, Twitter mengganti cuitan itu dengan pesan yang menyatakan bahwa unggahan tersebut "melanggar" aturan.

Namun tidak tertera penjelasan rinci tentang hal-hal yang telah dilanggar. Artikel berita yang tautannya disertakan Kedubes China pada cuitan itu dibuat oleh China Daily.

Berita surat kabar yang dikelola pemerintah China itu memuat klaim bahwa pemberantasan ekstremisme di Xinjiang "telah memberi perempuan Uighur lebih banyak kebebasan untuk memutuskan apakah mereka akan memiliki anak".

Artikel berita itu merujuk laporan Pusat Penelitian Pengembangan Xinjiang bahwa "perubahan yang dialami para perempuan itu tidak muncul oleh `sterilisasi paksa` terhadap populasi Uighur, seperti yang berulang kali diklaim beberapa akademisi dan politisi negara Bara.t"

Tahun 2020, sebuah laporan yang disusun pakar isu China, Adrian Zenz, menuding perempuan Uighur dan etnis minoritas lain di China diancam diasingkan di kamp jika menolak menggugurkan kehamilan yang melebihi batas kuota kepemilikan anak.

Zenz menggabungkan data resmi otoritas lokal, dokumen kebijakan pemerintah China, dan wawancara terhadap perempuan etnis minoritas di Xinjiang.

Laporan Zenz juga menyebut perempuan Uighur yang jumlah anaknya melampaui batas dipaksa menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim. Ada pula yang disebut dipaksa menjalani operasi sterilisasi.

Menurut Zenz, sebagian perempuan Uighur yang tak melampaui batas jumlah anak pun dipaksa mengikuti program serupa.

Di bawah aturan China saat ini, pasangan suami-istri diizinkan memiliki paling banyak dua anak. Di pedesaan tertentu, pasangan batas maksimalnya mencapai hingga tiga anak.

Sejumlah bekas tahanan di kamp-kamp interniran, yang menurut China adalah kamp pendidikan ulang untuk mengatasi ekstremisme, mengaku diberi suntikan yang menghentikan menstruasi.

Suntikan itu, menurut mereka, juga menyebabkan pendarahan yang terjadi terus-menerus yang dampaknya mirip obat pengendalian kelahiran.

Menurut analisis Zenz, pertumbuhan populasi alami di Xinjiang menurun secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir.

Tingkat pertumbuhan populasi itu turun 84% di dua wilayah terbesar Uighur selama tahun 2015 dan 2018. Persentasenya terus menurun pada tahun 2019.

Menyusul laporan itu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyerukan "semua negara untuk bergabung dengan pemerintahannya dalam menuntut China menghentikan praktik yang dianggap tidak manusiawi.

Terhadap berbagai tudingan itu, China mengatakan bahwa tuduhan itu "tidak berdasar" dan memuat "motif tersembunyi".

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, menuduh media massa "membuat informasi palsu tentang Xinjiang".