OJK Ungkap Hambatan Bank Susah Cepat Turunkan Bunga Kredit

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso.
Sumber :
  • Repro video Kemenkeu.

VIVA – Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengungkapkan faktor utama yang menyebabkan perbankan tidak bisa langsung menurunkan suku bunga kredit saat ini. Meski di tengah rendahnya kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia.

Wimboh menyatakan, itu disebabkan adanya beban tambahan yang ditanggung perbankan saat ini untuk bisa cepat merespons BI-7 Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5 persen. Di antaranya adalah kebijakan restrukturisasi kredit.

"Saya pikir respons terhadap landing rate tidak akan bisa menjadi one on one dengan policy rate. Kita memahami bahwa bank memilik burden di loan restrukturisasi hampir 80 persen ini men-delay pembayaran interset rate mereka," katanya dalam diskusi virtual, Selasa, 2 Maret 2021.

Oleh sebab itu, dia menegaskan, perbankan saat ini tengah mengelola keuntungan dan kerugian yang ditanggungnya di tengah tekanan ekonomi akibat dampak COVID-19. Karenanya, penurunan suku bunga kredit tidak bisa serentak dilakukan semua bank.

Baca juga: Kepala BKPM: Perpres Bidang Usaha Penanaman Modal Tetap Berlaku

"Jadi mereka mendapat burden di sini, bagaimana mem-balance, sejauh mana kita respons policy rate dan sejauh mana kita me-manage profit and loss yang sebetulnya sangat spesifik tergantung individual bank. Saya percaya respons terhadap message policy rate telah rendah dan saya yakin beberapa bank merespons cepat," tegas dia.

Namun demikian dia menilai, suku bunga kredit di perbankan saat ini sudah cukup rendah karena rata-rata telah berada dikisaran satu digit seperti suku bunga acuan. Dia mencontohkan, untuk suku bunga kredit korporasi saja saat ini telah berada di sekitar 8,6 persen rata-rata.

Di sisi lain, dia melanjutkan, perbankan pada dasarnya juga masih kesulitan meyalurkan kredit di tengah rendahnya suku bunga kebijakan BI dan melimpahnya likuditas. Sebab, dari sisi permintaan kredit, ditegaskan Wimboh, masih di level yang rendah.

"Anda bisa lihat LDR perbankan 82 persen, artinya ada banyak likuditas di bank saat ini. Tapi jika uang ada namun permintaan tidak ada saya yakin sangat sulit bagi bank untuk memberikan kredit kepada masyarakat," tuturnya.

Berdasarkan data OJK, per 17 Februari 2021, likuditas perbankan mencapai Rp2.219 triliun. Angka ini naik sekitar dua kali lipat dibandingkan catatan pada posisi 15 Januari 2021 yang sebesar Rp1.241 triliun. Ini disebabkan adanya kebijakan penurunan Giro Wajib Minimum BI dan stimulus fiskal pemerintah.

Atas dasar ini, otoritas dikatakan Wimboh telah mendesain berbagai kebijakan tambahan untuk mendorong permintaan masyarakat meningkat. Diantaranya memberikan insentif fiskal untuk pembelian mobil dan rumah baru yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20 dan 21 Tahun 2021.

"Itu mengapa pemerintah membuat kebijakan untuk menstimulus permintaan dengan menurunkan pajak untuk kendaraan bermotor dan perumahan. OJK dan BI juga menurunkan standar prudensial sementara waktu guna memastikan adanya permintaan," papar Wimboh.