Pakar ITS Sebut RUU Energi Terbarukan Kontraproduktif

Ilustrasi Paripurna DPR
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Mukhtasor, berpendapat bahwa Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) yang tengah dibahas di DPR kontraproduktif dengan cita-cita kemandirian energi nasional. Bahkan, bisa jadi RUU itu berpotensi mengulangi kondisi seperti UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 

“UU Migas melanggar konstitusi sehingga dibatalkan. Dampaknya, ada krisis regulasi migas sampai sekarang. Jangan sampai RUU EBT mengalami hal serupa,” ujarnya dalam webinar Dampak Regulasi EBT Terhadap Ketahanan Energi Nasional, sebagaimana keterangan tertulis diterima pada Kamis, 5 Agustus 2021.

Pembuatan setiap UU, katanya, seharusnya dilandasi semangat meningkatkan kedaulatan dan kemandirian nasional. Sayangnya, RUU EBT mencerminkan semangat mendukung impor dan memfasilitasi oligarki.

Mukhtasor mengambil contoh Pasal 40 pada RUU EBT yang mewajibkan PLN membeli listrik EBT dari pembangkit swasta. Kewajiban itu tidak menimbang kebutuhan PLN dan listrik nasional yang bisa membebani PLN dan di sisi lain menjamin investasi para pelaku EBT.

Mukthasor juga menyoroti Pasal 51 yang mengatur soal feed-in tariff. Ada beberapa masalah dari aturan itu. Pertama, aturan itu bisa membengkakkan subsidi. “Aturan itu mengasumsikan negara punya uang untuk menutup selisih produksi listrik PLN dan EBT. Kalau memang uangnya ada, kenapa tidak dipakai untuk menguatkan PLN atau industri nasional,” ujarnya. 

Ia juga menyoroti klausul Komisi Pemberantasan Korupsi merekomendasikan tidak ada feed-in tariff. Jika RUU EBT tetap memasukkan klausul itu, maka RUU itu tersebut berpotensi melanggar rekomendasi KPK dan hal itu berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Klausul itu mirip ketentuan Take of Pay (ToP) yang kini diberlakukan untuk IPP swasta. Mekanisme ToP memastikan keuntungan bagi IPP atau investor. Sementara bagi negara dan PLN, untung atau rugi harus ditanggung.

Di RUU EBT, kewajiban membeli listrik dari IPP EBT tidak memandang apakah PLN butuh atau tidak. Padahal, sekarang PLN sedang kelebihan daya. Dampak berat ToP paling terasa paling tidak sejak 2019. Konsumsi listrik turun, sementara biaya yang harus dibayar tetap. Pandemi membuat konsumsi semakin turun. Sekarang cadangan daya sudah di atas 35 persen dari idealnya 30 persen.

Di luar negeri, katanya, memang ada aturan feed-in tariff. Akan tetapi, aturan itu diiringi dengan dorongan membangun industri nasional pada sektor EBT. Di RUU EBT, alih-alih mendorong industri nasional, malah condong memfasilitasi asing. “Penetapan tarif saja dalam dolar, bukan rupiah,” katanya.