Kemenkeu Klaim 4,1 Persen APBN untuk Atasi Perubahan Iklim

Gedung Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Sumber :
  • vivanews/Andry Daud

VIVA – Dalam lima tahun terakhir Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk memitigasi dampak perubahan iklim telah cair rata-rata 4,1 persen. Hal itu diungkapkan Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Kemenkeu Pande Putu Oka Kusumawardani dalam diskusi daring di Jakarta 22 Oktober 2021. 

Menurut Pande, pemerintah telah menargetkan Indonesia tidak lagi hasilkan emisi karbon pada 2060 mendatang. Pemerintah juga tengah berdiskusi untuk membuat climate change fiscal framework guna memperkuat pembiayaan berkelanjutan di dalam negeri.

"Dari sisi pembiayaan, pemerintah sudah terbitkan green sukuk sejak 2018 yang antara lain untuk membiayai transportasi berkelanjutan, memitigasi bencana alam, pengalihan limbah, akses energi baru terbarukan (EBT), dan efisiensi energi," kata Pande dikutip dari Antara.

Baca juga: 3 Kota di Indonesia Dinobatkan Kota Bersih di Asia Tenggara

Namun demikian, Pande menjelaskan sumber pembiayaan ini diperkirakan belum bisa men-cover keseluruhan kebutuhan pembiayaan berkelanjutan sehingga masih ada ruang yang bisa diharapkan untuk ditingkatkan ke depan.

Karena itu, pemerintah baru-baru ini menelurkan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) yang juga mengatur tentang pajak karbon.

Selain untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang berkelanjutan, Pande mengatakan aturan tentang pajak karbon menjadi sinyal bahwa pola pikir dan perilaku masyarakat Indonesia mulai mengarah pada energi yang lebih hijau.

Adaptasi Pangan Masyarakat Pesisir Terhadap Perubahan Iklim

Photo :
  • VIVA.co.id/Dhana Kencana

"Dalam draft UU HPP yang sudah disepakati DPR dan tinggal tunggu proses penyelesaiannya saja, pajak karbon direncanakan mulai dipungut 1 April 2022, di mana untuk tahap awal pajak karbon akan diterapkan pada sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara," katanya.

Tarif pajak karbon pun menurutnya cukup murah yakni sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen. Pemungutan pajak karbon, menurut Pande, akan dipungut secara berhati-hati ke depan.

"Akan diperhatikan beberapa faktor, misalnya kesiapan sektor, kondisi perekonomian, dan pemenuhan target dari NDC (Nationally Determined Contribution) dan dicoba untuk diselaraskan dengan perkembangan pasar karbon di Indonesia," ucapnya. (Ant)