PBB Tuduh Perusahaan Singapura Pasok Barang Mewah ke Korut

United Nations headquarters, November 29, 2017 in New York City
Sumber :
  • bbc

Sebuah bocoran draf laporan PBB mengklaim, dua perusahaan Singapura telah melanggar sanksi PBB dengan memasok barang-barang mewah ke Korea Utara.

Pemerintah Singapura menyatakan telah mengetahui kasus ini dan sudah melakukan penyelidikan terhadap potensi pelanggaran berdasarkan "informasi kredibel".

Melalui beragam sanksi selama dua tahun terakhir, PBB dan beberapa negara di dunia menghukum Korea Utara atas uji coba nuklir dan peluncuran roket.

Di antara sanksi yang diterapkan adalah pelarangan penjualan barang mewah ke Korut. Baik PBB maupun Singapura memberlakukan sanksi tersebut.

Namun, dengan adanya dugaan bahwa dua perusahaan Singapura memasok barang mewah ke Korut, sejumlah analis mempertanyakan seberapa luas pelanggaran semacam itu terjadi di Asia.

Bocoran laporan PBB menyoroti dua perusahaan asal Singapura, OCN dan T Specialist. Kedua perusahaan itu bernaung di bawah satu payung dan direkturnya pun sama.

Kedua perusahaan itu disebut memasok berbagai barang luks ke Korut, termasuk minuman anggur dan minuman keras pada Juli 2017.

Laporan PBB mengklaim bahwa antara 2011 hingga 2014 terdapat "transaksi bernilai lebih dari US$2 juta (Rp27,5 miliar)" yang ditengarai sebagai pembayaran barang yang dikirim ke Korut.

Uang tersebut mengalir dari rekening yang diciptakan OCN dan T Specialist di bank Korut, Daedong Credit Bank, ke rekening bank T Specialist di Singapura.

Kedua perusahaan itu juga dituding punya "keterikatan kuat dan lama", termasuk kepemilikan, dengan Ryugyong Commercial Bank—sebuah bank yang dimasukkan dalam daftar sanksi AS pada 2017.

Baik OCN maupun T Specialist membantah melakukan kesalahan.

Kepada PBB, T Specialist mengaku bahwa dana di rekening bank Korut tidak berasal dari pemerintah Korut, tapi sebuah perusahaan yang terdaftar di Hong Kong. Adapun yang mengalir berkaitan dengan penjualan sebelum 2012.

Soal tudingan keterikatan dengan Ryugyong Commercial Bank, kedua perusahaan itu juga menepisnya.

Edmond Pereira selaku pengacara kedua perusahaan tersebut mengakui kliennya tengah diselidiki aparat Singapura, namun dia berkeras bahwa kliennya tidak punya keterkaitan finansial, kepentingan, atau hubungan apapun dengan pemerintah Korut.

Pereira mengamini bahwa kliennya "pernah berbisnis dengan pihak Korea Utara…sebelum sanksi PBB diberlakukan".

Dia menambahkan kliennya telah "mengurangi keterlibatan mereka" di Korea Urara namun "hal seperti itu perlu waktu".

PBB memberlakukan larangan untuk menjual produk mewah ke Korut sejak 2006. Undang-undang Singapura juga melarang penjualan barang semacam itu ke Korut selama beberapa tahun terakhir.

Singapura, menurut Kementerian Luar Negerinya, juga melarang institusi keuangan di negara-pulau tersebut menyediakan bantuan layanan keuangan atau jasa memfasilitasi perdagangan Korut.

Larangan berdagang dengan Korut baru dikeluarkan November 2017 lalu. Sebelumnya, berniaga dengan negara pimpinan Kim Jong-un itu sah-sah saja.

Laporan PBB menyebutkan sejumlah transaksi OCN dan T Specialist dengan Korut tampaknya menggunakan sistem keuangan Singapura.

Padahal, menurut PBB, adalah tanggung jawab negara anggota untuk memastikan bank-bank mereka punya "pengawasan tangguh" terhadap individu dan perusahaan yang membuka rekening.

BBC berupaya menghubungi dua bank yang disebutkan dalam laporan itu. Kedua bank tersebut menolak berkomentar seraya mengutip undang-undang kerahasiaan perbankan di Singapura.

Otorita Jasa Keuangan Singapura (MAS) mengatakan kepada BBC bahwa mereka bekerja sama dengan PBB untuk menangani kasus itu.

"MAS akan mengambil langkah tegas terhadap institusi keuangan dalam pelanggaran regulasi terkait peningkatan pendanaan," sebut MAS dalam keterangan resmi.

MAS juga mengemukakan harapannya agar bank lebih berhati-hati terhadap "penggunaan perusahaan kedok, perusahaan cangkang, usaha gabungan yang beroperasi di multiyurisdiksi serta struktur kepemilikan yang kompleks atau tidak jelas."

William Newcomb, mantan anggota panel ahli PBB, mengatakan Korut memang sengaja mencari celah untuk menghindari sanksi PBB.

"Mereka mendirikan perusahaan kedok, lalu mendirikan perusahaan kedua di tempat lain, sebuah bank di lokasi ketiga, dan berbisnis di lokasi berbeda," jelas Newcomb.

"Nah sekarang ada berbagai yurisdiksi yang terlibat dan menjadi rumit. Itulah salah satu teknik yang mereka gunakan untuk mengalahkan sanksi-sanksi," imbuhnya.

Sejumlah peneliti kejahatan keuangan mengutarakan bahwa sulit bagi bank untuk menangkap pelaku tindakan tersebut.

"Mungkin Anda tidak pernah tahu bahwa dana itu datang dari Korea Utara," kata Tim Phillipps, pemimpin kawasan Asia Pasifik di Jaringan Kejahatan Keuangan perusahaan Deloitte.

Dia menambahkan, masalah soal Korut boleh jadi lebih besar di Asia Tenggara.

"Jika Anda disebutkan dalam laporan di Singapura, MAS sangat mungkin meminta pemeriksaan sejarah transaksi yang panjang," kata Phillips.

"Namun, kalau Anda melihat negara lain di Asia Tenggara, umumnya mereka tidak punya sistem yang matang untuk mencegah hal ini terjadi," sambungnya.

Laporan PBB mengarisbawahi betapa mudahnya perusahaan-perusahaan yang berbisnis dengan Korut untuk menemukan celah—bahkan di sistem keuangan canggih seperti di Singapura.