Rumah Bordil Paling Aman Nyaman bagi Wanita Ada di Inggris

Louise -perempuan Inggris tamatan universitas- mengaku memilih untuk menjadi pekerja seks komersial. - BBC
Sumber :
  • bbc

Polisi Inggris membiarkan rumah bordil beroperasi jika memberikan lingkungan yang aman bagi perempuan, seperti dituturkan oleh seorang mantan detektif -yang kini mengelola rumah bordil- kepada progam Victoria Derbyshire.

Kami kemudian bertemu dengan beberapa perempuan yang bekerja di rumah bordil tersebut.

Sebuah apartemen kecil dengan dua kamar di kawasan permukiman dengan perumahan bergaya arsitektur zaman Ratu Victoria mungkin tidak diperkirakan orang sebagai rumah bordil.

Di Inggris banyak perempuan yang diselundupkan atau yang kecanduan obat bius yang kemudian dipaksa menjadi pekerja seks komersial yang dikendalikan oleh para germo.

Namun rumah bordil yang satu ini agak berbeda.

Interior di dalam apartemen yang terletak di pusat kota London ini tampak modern, menyenangkan, dan juga hangat -tidak ada gorden kotor di jendela atau seprai tipis di tempat tidur.


Foto para perempuan pekerja seks disebar lewat media sosial setiap hari untuk menarik pelanggan. - BBC

Duduk di sofa kulit berwarna cokelat yang berada di ruang tamu, adalah `Cherub`, perempuan asal Rumania yang mengenakan BH dan celana dalam berwarna merah gelap, dengan sepatu hak tinggi dari Primark, toko pakaian harga terjangkau di Inggris.

Di sebelahnya adalah `Janine` yang mengenakan jubah pendek satin berwarna hitam untuk menutupi pakaian dalamnya yang berwarna jingga.

Keduanya bersahabat namun juga berhati-hati.

Penilaian moral

Namun salah seorang dari perempuan di apartemen itu bersedia untuk mengungkap seluruh aspek dalam pekerjaannya dan tak juga keberatan untuk difoto.

Namanya Louise, perempuan Inggris tamatan universitas di bidang Biologi Kelautan dan berutang £20.000 atau sekitar Rp395 juta kepada negara untuk biaya kuliahnya dulu.

Dia mengatakan lebih suka bekerja tiga atau empat hari seminggu dengan menjual seks untuk pendapatan yang bisa mencapai £900 (Rp17 juta) per minggu dibanding bekerja `12 jam sehari di stasiun pompa bensin dengan upah minimum`.


Majalah pria, Men`s Health, disediakan di tepi tempat tidur. - BBC

Selain itu, dia juga ingin mengubah stigma yang melekat pada pekerja seks komersial.

Louise menegaskan karena pekerjaan itu pilihannya, maka dia tidak dieksploitasi.

"Saya dengan keras kepala memperjuangkan hak saya untuk melakukan kerja seperti ini, tanpa orang lain menerapkan penilaian moral kepada saya."

"Saya tidak mau orang berpikir bahwa saya kecanduan narkoba atau saya dipaksa maupun diselundupkan," tambahnya.

"Saya hanya orang biasa yang ingin mendapat uang, menjamin masa depan saya sendiri dan melakukan pekerjaan ini karena pilihan."

Obrolan dengan Louise terganggu setiap 10 menit dengan dering telepon atau bunyi bel pintu, entah itu seorang pria yang memesan tempat atau yang datang ke apartemen sesuai dengan `waktu janjian yang dipesannya`.

Pelanggan membayar £70 atu setara dengan Rp1,3 juta untuk setengah jam dan dari jumlah itu, perempuan pekerja seks mendapat £45 sedang selebihnya, £25, untuk rumah bordil.

Pada hari yang baik, Louise bisa mendapat delapan hingga sembilan pelanggan.


Pemilik rumah bordil, Karl, merupakan mantan anggota polisi. - BBC

Kami berbicara dengan 11 perempuan dan karyawan di rumah bordil, yang semuanya mengatakan memilih bekerja di sana tanpa paksaan dari orang lain.

Tidak ada pula dari antara mereka yang memastikan bahwa para tetangga mengetahui bisnis di tempat tersebut.

Bagaimanapun kami tidak boleh berbicara dengan pelanggan, yang sama sekali tidak tahu bahwa ada wartawan yang berada di sana.

`Pria ganteng`

Salah seorang karyawan penerima telepon, yang sudah bekerja di industri seks selama dua dekade lebih mengatakan profil para pelanggan berubah seiring dengan jalannya waktu.

"Lebih banyak pria muda yang datang, pria ganteng -orang yang mungkin Anda pikir tidak perlu membayar untuk seks, namun lebih mudah bagi mereka daripada pacaran," tuturnya

"Kadang ada yang datang bersama temannya sebelum acara keluar pada malam hari. Menjadi hal yang lebih biasa."

Di apartemen atau flat itu ada pintu berlapis yang menghubungkan ruang tunggu dengan satu aula kecil, tempat dua kamar tidur (salah satu memiliki kamar mandi di dalam) serta satu kamar mandi kecil.

Tampak seperti hotel kelas menengah, dengan dinding warna krem, seprai abu-abu gelap, dan beberapa bantal bersarung sutra.

Di sisi tempat tidur besar terdapat laci kayu yang berisi beberapa bungkus kertas tisu pembersih basah dan kantung sampah untuk kondom bekas.

Satu majalah pria, Men`s Health, terlihat di sisi tempat tidur.

Ketika sedang menunggu pelanggan berikutnya, para perempuan itu duduk-duduk minum teh, melihat telepon, dan tertawa mendengar cerita Janine tentang seorang pelanggan yang berpura-pura bahwa Janine `mencampakkannya`.

Yang mengejutkan, pemilik rumah bordi adalah Karl, mantan aparat polisi berusia 45 tahun.

Ayah seorang anak itu mengatakan sudah mengelola bisnis seks selama 15 tahun dan putri remajanya tidak tahu tentang `pekerjaan baru` sang ayah.

Di Inggris dan Wales, mengoperasikan rumah bordil adalah ilegal walau menjual dan membeli seks boleh-boleh saja.

Karl mengatakan tidak punya keraguan moral dalam melanggar hukum karena pada prinsipnya dia tidak setuju dengan hukum terkait bisnis seks dan dia juga yakin tidak mengeksploitasi para perempuan pekerja seks di rumah bordilnya.

"Kami tidak membolehkan narkoba, tidak ada perempuan di bawah umur. Kami memeriksa paspor mereka," tegasnya untuk memastikan para perempuan bukan masuk ke Inggris karena diselundupkan.

"Jika kami meragukan bahwa mereka bekerja bukan karena pilihan sendiri, maka kami telepon polisi."

Terancam penjara

Karl -bukan nama sebenarnya- mengatakan bisnis yang digelutinya selama 15 tahun belakangan diketahui oleh pihak berwenang, yang menurutnya, tidak keberatan sepanjang para perempuan yang bekerja di sana berada dalam lingkungan yang aman.

"Jika mereka menutup bisnis itu, saya bisa jadi masuk penjara. Namun kemudian ada sekitar 15 hingga 20 perempuan yang harus mencari kerja di tempat lain."

Dewan Pimpinan Polisi Nasional, NPCC, yang menangani prostitusi dan pekerja seks, Asisten Kepala Konstabel Dan Vajzovic mengatakan, "Para petugas kini mempertimbangkan serangkaian faktor, termasuk keamanan para pekerja seks yang terlibat, sebelum memutuskan apakah penuntutan merupakan tanggapan yang tepat atas pelanggaran itu."

"Penerapan hukum semata sudah terbukti tidak cukup untuk menangani prostitusi."

Dia menambahkan bahwa prioritas adalah `memberantas mereka yang menggunakan posisinya untuk mengeksploitasi kaum yang lemah`.

Rumah bordil `buruk`

Jika Karl dan Louise memperjuangan disahkannya industri seks namun Julie Bindel -pegiat feminisme yang menulis buku tentang perdagangan seks- berpendapat pengesahan rumah bordil sebenarnya lebih buruk.

Dia sudah mewanwancara 100 perempuan yang bekerja sebagai prostitusi untuk risetnya.

"Adalah sebuah fantasi bahwa legalisasi akan membantu semua orang, kecuali germonya," tegasnya.

"Bahkan perempuan yang memang memilihnya, dan mereka memang ada, melakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan kita tidak bisa menerima atau memaafkannya, itu membeli dan menjual tubuh perempuan."

Bagaimanapun Karl dan Louise mengatakan mereka membayar pajak pendapatan.

Karl bersama istrinya juga punya perseroan terbatas untuk menjalankan bisnisnya, yang didaftarkan sebagai atau agen yang menyediakan jasa pendamping.

Pendapatannya per tahun sebelum pajak mencapai £60.000, yang setara dengan sekitar Rp1 miliar.

Sama dengan Karl, Louise juga ingin agar rumah bordil disahkan secara hukum.

"Jika saya berbisnis sendiri (bukan di rumah bordil), yang dibolehkan undang-undang, saya berada dalam belas kasihan dari pelanggan yang datang."

"Seorang pelanggan bisa saja datang, memperkosa, memukul, atau merampok saya," tambahnya.

"Jika saya bekerja di rumah bordil, yang juga ada perempuan lainnya, yang ada penerima tamunya, itu jutaan kali lebih aman."