Kisah Liana Ang Korban Rusuh Mei 1998 yang Kini di Australia

Kerusuhan Mei yang berakhir dengan jatuhnya Presiden Soeharto di tahun 1998.
Sumber :
  • abc

Selalu ada manfaat yang bisa dipetik dari sebuah peristiwa, betapa pun pahitnya peristiwa tersebut. Hal itu dikatakan oleh Liana Ang, yang sekarang tinggal di Gold Coast (Queensland) yang sudah lebih dari 15 tahun tinggal di Australia dan pindah karena peristiwa kerusuhan tahun 1998.

Liana adalah korban langsung dari peristiwa kerusuhan yang akhirnya membuat Presiden Soeharto mengakhiri kekuasannya selama 32 tahun tersebut.

Rumah yang merangkap toko di kawasan Meruya di Jakarta dibakar oleh massa yang menjarah.

"Kalau tidak ada peristiwa tersebut, saya mungkin tidak akan pernah tinggal di luar negeri, dan betah. Saya dulu membayangkan tinggal di luar susah, kaerena tidak ada pembantu, semua harus diurus sendiri, apa-apa susah," katanya kepada wartawan ABC Sastra Wijaya dalam pembicaraan baru-baru ini.

Liana masih ingat betul tanggal 12 Mei 1998 ketika dia memutuskan mengungsi dari rumah yang ditinggalinya ke rumah adiknya yang tinggal di kompleks perumahan, karena situasi di Jakarta malam itu sudah mencekam karena terdengar cerita adanya kerusuhan dan penjarahan di berbagai tempat.

"Saya hanya membawa paspor, uang, dan surat-surat penting saja dan pakaian secukupnya," kata Liana yang ketika itu bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan di Jakarta.

Dia memutuskan mengungsi, karena rumah tinggalnya berada di kompleks pertokoan, dimana rumahnya bersebelahan dengan supermarket, dan dua bank yang memang dikhawatirkannya akan menjadi sasaran penjarahan.

Hal yang dikhawatirkannya benar-benar terjadi keesokan harinya ketika dia kembali melihat rumah yang pernah ditinggalinya selama 10 tahun tersebut ketika segerombolan orang yang datang entah dari mana kemudian mencoba menjarah supermarket Jameson.

"Pada awalnya mereka tidak bisa membuka pintu depan supermarket tersebut karena memang digembok kuat, namun kemudian mereka melempar batu ke lantai dua. Juga mereka sebelumnya mencoba menjarah dari bank di sebelah kanan rumah kami, tapi tidak mendapat apa-apa," kata Liana.

Di rumah Liana ketika itu masih ada beberapa pelayan toko yang tinggal karena keluarganya waktu itu memiliki usaha restoran menjual makanan seperti mie keriting.

"Sebelum peristiwa tersebut, kami sebenarnya sudah membeli makanan untuk disimpan sebagai tindakan berjaga-jaga. Namun walau pelayan restoran kami disuruh keluar dari rumah, namun akhirnya semua kompleks pertokoan tersebut hangus dibakar massa," kata Liana lagi.

Tidak saja Liana kehilangan bahan makanan dan benda-benda lain yang bisa diganti namun juga kenangan yang tidak bisa diganti begitu saja seperti koleksi foto keluarga dan berbagai hal lainnya, karena dia tidak memiliki waktu banyak untuk bisa menyelamatkannya.


Liana Ang dan suaminya Greg Hill sekarang tinggal di Gold Coast (Queensland)

Foto: Istimewa

Mendaftar jadi pengungsi di Australia

Ketika itu selain bekerja sebagai sekretaris, Liana juga sering menjadi pemandu tur yang membawa warga Indonesia melakukan perjalanan ke luar negeri.

Enam bulan setelah peristiwa Mei 1998 itu, Liana membawa rombongan ke Australia dan dalam salah satu perjumpaan dengan warga Indonesia lain, timbul pembicaraan mengenai bagaimana bisa pindah dan tinggal di Australia.

Menggunakan apa yang pernah dialaminya, Liana kemudian mendaftar sebagai pengungsi dan kemudian mendapat visa sementara, di saat proses aplikasinya dipertimbangkan oleh pemerintah Australia.

Namun di tahun 2001, ketika Abdurahman Wahid terpilih sebagai Presiden Indonesia yang kemudian mengeluarkan serangkaian kebijakan yang mendukung kebhinekaan di Indonesia termasuk penetapan hari libur nasional untuk peringatan Imlek, pemerintah Australia tidak lagi memberikan visa pengungsi bagi mereka yang berasal dari Indonesia.

Menurut Dr Salut Muhidin, dosen kajian kependudukan di Universitas Macquarie di Sydney, Liana Ang termasuk dari sekian ribu warga asal Indonesia yang datang ke Australia setelah peristiwa 1998.

Sebagian meminta suaka sebagai pengungsi, sebagian lagi melakukan migrasi sesuai dengan kebijakan terbuka yang dianut oleh Australia.

Dalam keterangan kepada wartawan ABC Sastra Wijaya, Dr Salut Muhidin mengatakan memang tidak ada data khusus mengenai berapa orang warga Indonesia yang meminta suaka sebagai pengungsi dan berapa yang dikabulkan oleh pemerintah Australia.

"Berdasarkan data jumlah orang Indonesia yang melakukan imigrasi ke Australia selama periode 1997-2002, benar adanya ada peningkatan jumlah," kata Salut.


Dr Salut Muhidin dari Macquarie University di Sydney

Foto: Istimewa

"Migrasi secara permanen dari warga Indonesia mengalami puncaknya pada periode 2001-2002, sebanyak 5.821 migran atau meningkat sebanyak 2,5 kali dari jumlah migran pada tahun 1996-1997 (yaitu sebanyak 2.149 orang)."

"Pada periode yang sama, jumlah Long Term visitors dari Indonesia juga meningkat pesat. Pada saat migrasi tetap mengalami puncak, jumlah visitors juga mencapai puncaknya dengan jumlah 9.521 orang," kata Salut lagi.

Menurut Salut, dengan adanya peningkatan kunjungan hal tersebut juga berdampak pada permohonan visa ke Australia dari Indonesia pasti meningkat tajam.

"Mereka yang tidak bisa melakukan secara permanen akan berusaha untuk mencoba melalui visa kunjungan atau visitor, baik jangka panjang (long term visitor) ataupun kunjungan jangka pendek (short term visitor)," katanya lagi.

Aplikasi Liana sebagai pengungsi kemudian ditolak pemerintah Australia di tahun 2001, namun dia ketika itu memutuskan untuk tidak mau kembali lagi ke Indonesia.

Mengembangkan bisnis yang mempekerjakan warga Indonesia

Salah satu alternatif baginya untuk bisa tinggal menetap di Australia adalah bila dia menikah dengan warga Australia.

Beruntung Liana kemudian bertemu Greg Hill, seorang pria Sydney dimana mereka kemudian menikah sampai sekarang.

Keduanya kemudian mengembangkan bisnis survei lalu lintas di Sydney selama beberapa tahun, dan banyak mempekerjakan pelajar asal Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Sydney dan sekitarnya.

"Kadang kalau ada beberapa survei yang harus kami lakukan, kami bisa mempekerjakan sampai 30 orang, kebanyakan asal Indonesia," kata Liana.

Peristiwa kerusuhan Mei 1998 itu sudah terjadi 20 tahun lalu namun bagi Liana Ang dan keluarganya peristiwa tersebut tidak pernah terlupakan.

"Keponakan perempuan misalnya sampai sekarang kalau naik mobil selalu di tengah atau di belakang. Dia tidak mau duduk di depan, karena ketika peristiwa itu terjadi dia trauma karena wajahnya dikenali sebagai orang Tionghoa sehingga akan diserang," kata Liana.

Adakah keinginan bagi Liana Ang untuk pulang dan menetap di Indonesia misalnya menghabiskan masa tua di sana?

"Saya secara teratur mengunjungi Indonesia, dan sempat juga terpikir untuk kembali ke Indonesia, apalagi setelah Presiden Jokowi berkuasa dan Ahok menjadi Gubernur," katanya.

Namun apa yang terjadi dengan Ahok kemudian membuatnya berpikir ulang untuk melakukan hal tersebut.

"Tiap kali saya pulang ke Indonesia, saya happy-happy saja kalau tidak ada demo. Kalau pas ada demo, kita jadi takut," kata Liana lagi.

Namun terlepas dari semua itu, Liana Ang merasa bersyukur bahwa dia bisa tinggal di Australia.

"Bagi saya pribadi, saya bersyukur karena sebelumnya saya tidak pernah berpikir untuk bisa dan mau tinggal di negeri seperti Australia, dimana kita hidup tanpa pembantu, semua harus dikerjakan sendiri," ujarnya.

"Tapi saya menikmati kehidupan di sini," kata Liana.