Mungkinkah Krisis Turki dan Argentina Menular ke Asia?

Rupiah yang nilanya paling terkena dampak negatifnya. - Getty Images
Sumber :
  • bbc

Krisis ekonomi di Turki dan Argentina menimbulkan pembicaraan tentang "penularan" - yaitu bahaya masalah keuangan di satu negara akan menular ke negara-negara lain.

Turki sedang berjuang mengatasi mata uangnya yang anjlok dan hubungan diplomatik yang memburuk dengan Amerika Serikat.

Krisis yang terus memburuk di Argentina memicu pemerintah negara itu untuk mengumumkan langkah penghematan dan meminta Dana Moneter Internasional (IMF) melakukan penggelontoran dini pinjaman sebesar US$50 miliar aatau Rp742 triliun.

Anjloknya nilai lira Turki dan peso Argentina menyebabkan munculnya kekhawatiran bahwa hal ini akan terjadi pada mata uang dari Afrika Selatan sampai Rusia.

Di Asia, rupee India dan rupiah Indonesia telah terkena imbasnya. Jadi apakah ekonomi Asia memang perlu khawatir?

Jadi bisa dikatakan, penularan adalah proses yang `saling menguatkan`, di mana masalah ekonomi di satu negara memicu para penanam modal untuk menjual aset di sejumlah ekonomi yang menghadapi risiko yang sama.

Di dunia yang menyatu, krisis di satu negara dapat dengan cepat menyebar ke tempat-tempat lain lewat hubungan perdagangan atau pinjaman bank.

Tetapi mengapa masalah di Turki atau Argentina menjadi penting di tempat lain, selain membuat biaya liburan di sana menjadi lebih murah.

Bagaimana masalah menyebar?

Perdagangan jelas adalah cara di mana masalah di satu negara mempengaruhi yang lainnya.

Ketika sebuah ekonomi mulai guncang, perusahaan-perusahaan cenderung mengurangi produksi dan kemudian mengurangi pekerjaan. Akibatnya, konsumen memiliki uang yang lebih sedikit untuk membeli barang, termasuk impor.


Peti kemas pada sebuah pelabuhan di Cina. - Getty Images

Ini adalah kabar buruk bagi bisnis global yang mengekspor banyak barang ke negara itu.

Jika krisis juga menyebabkan melemahnya mata uang, maka biaya impor akan naik, sehingga semakin mempengaruhi permintaan.

Meskipun demikian Joseph Gagnon dari Peterson Institute for International Economics, Washington, AS mengatakan Asia memiliki "hubungan dagang yang sangat rendah" dengan Argentina dan Turki, "jadi ini bukanlah suatu kekhawatiran yang serius".

Rajiv Biswas, ekonom senior Asia Pasifik di IHS Markit, juga mengatakan perdagangan dengan Turki tidak mungkin menjadi saluran penularan ke Asia, karena kawasan itu sangat bergantung kepada ekonomi lain seperti Cina, Eropa dan AS terkait dengan ekspornya.

"Kekhawatiran yang lebih penting bagi bangsa-bangsa Apac (Asia Pasifik) adalah jika krisis ekonomi Turki menular ke mata uang dan ekuiti pasar negara berkembang ( ), yang kemungkinan dapat memicu arus dana keluar yang signifikan dari pasar negara berkembang," katanya.

Mengapa pasar negara berkembang lain menderita?

Istilah "pasar negara berkembang" mengacu ke negara berkembang di Afrika, Amerika Latin atau Asia, sementara ekonomi besar seperti AS, Inggris dan Jepang cenderung memiliki standar yang lebih tinggi dan sistem keuangan yang lebih maju.

Saat krisis ekonomi terjadi, penanam modal cenderung menjual aset yang lebih berisiko, seperti mata uang atau saham pasar negara berkembang dan menyimpan yang lebih aman seperti dolar AS atau obligasi pemerintah yang dikeluarkan ekonomi besar.

Julian Evans-Pritchard, ekonom senior Cina di Capital Economics, mengatakan berbagai negara bergantung kepada dana dari luar negeri dan menerima dana luar negeri dari negara yang dipandang berisiko tertular (krisis ekonomi) ke pasar saham dan obligasinya.

"Risikonya adalah ketika keadaan menjadi lebih negatif, penanam modal asing mulai menarik dana tersebut, yang kemudian mempengaruhi tingkat nilai tukar," katanya.

"Bagi negara-negara yang banyak meminjam mata uang asing, biasanya dalam dolar Amerika, hal ini dapat menyulitkan pembayaran kembali utang dalam mata uang asing. Inilah yang terjadi pada tahun 1997 saat terjadinya krisis keuangan Asia, misalnya."


Mata uang negara berkembang dibandingkan dengan dolar Amerika. - BBC

Mengapa India dan Indonesia terkena?

Di Asia, baik India maupun Indonesia sangat tergantung pada arus masuk dana asing, karena itulah mata uang tertekan.

India, sebuah negara pengimpor minyak, mengalami kenaikan ongkos impor karena peningkatan harga minyak dan ini menyebabkan peningkatan defisit neraca berjalan, kata Biswas dari IHS Markit.

Sebuah negara yang mengalami defisit neraca berjalan kemungkinan bergantung kepada arus masuk dana asing untuk membiayai pembelanjaan dan penanaman modal.

Sementara Indonesia memiliki cadangan devisa yang rendah, sementara pemilikan asing terkait dengan ekuitas lokal dan pasar obligasi, trgolong tinggi, kata Biswas pula.

Ini menyebabkan keadaan menjadi peka sehingga para penanam modal menarik dananya.

Bagaimana dengan perbankan?

Cara lain penularan adalah saat bank-bank di sebuah negara memiliki aset di negara lain yang sedang bermasalah. Masalah ekonomi dapat menyebabkan nilai aset anjlok.

Ketika hal tersebut terjadi, para penanam modal khawatir tentang bagaimana sebuah bank akan mengatasi anjloknya nilai aset dan bagaimana hal ini akan mempengaruhi kemampuan meminjamkan uang ke nasabah dan peminjam lainnya.

Kekhawatiran seperti ini dialami saham bank Eropa baru-baru ini, di mana para penamam modal mencemaskan nilai aset Turki milik mereka.

Financial Times melaporkan bagian dari European Central Bank mengkhawatirkan paparan sejumlah peminjam terbesar zona eropa ke Turki.

Laporan tersebut menyatakan BBVA Spanyol, UniCredit Italia dan BNP Paribas Perancis, semuanya tinggi operasinya di Turki, sangatlah terpengaruh.


Anjloknya mata uang Turki menimbulkan kekhawatiran terkait dengan paparan bank terhadap ekonomi negara itu. - Getty Images

Bank-bank Spanyol adalah yang paling banyak terpapar dengan Turki, menurut IHS Markit, dengan mengutip data Bank for International Settlements.

Mereka memiliki aset Turki senilai 81 miliar euro atau Rp1.399 triliun, sementara perbankan Perancis memiliki sekitar 35 miliar euro atau Rp604 triliiun.

Tetapi Biswas dari IHS Markit mengatakan bank-bank Asia tidak terlalu terpapar dengan Turki.

"Secara umum, terkait dengan sektor perbankan negara-negara Asia, hal ini tidak akan menjadi faktor negatif serius pada profil mereka," katanya.