Trump Serukan Intelijen AS, 'Balik ke Sekolah!'

President Trump menunjukkan surat pengunduran AS dari kesepakatan nuklir Iran pada Mei 2018. - AFP/Getty
Sumber :
  • bbc

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyebut segenap badan intelijen AS "naif" soal Iran.

"Hati-hati soal Iran. Mungkin intelijen harus balik ke sekolah!" cuit Trump.

Cuitan itu muncul setelah laporan intelijen memaparkan bahwa Iran tidak membuat senjata nuklir dan Korea Utara "kemungkinan tidak menyerahkan" pasokan senjata nuklir dan kemampuan memproduksinya.

Trump menyebut para pejabat badan intelijen AS "tampaknya sangat pasif dan naif ketika menyangkut bahaya Iran. Mereka salah!"

Iran, lanjutnya, "membuat masalah di seluruh Timur Tengah dan di luar kawasan" pada 2016, namun "sangat berbeda" sejak AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran yang "buruk".

Trump memperingatkan bahwa Teheran tetap menjadi "sumber potensi bahasa dan konflik" dengan merujuk pada uji roket baru-baru ini.

Laporan intelijen bertajuk `Tinjauan Ancaman Dunia` itu mengungkap bahwa Iran saat ini tidak sedang membuat senjata nuklir, walaupun "kemampuan militer yang meningkat dan ambisi regionalnya" mungkin akan mengancam kepentingan AS di masa mendatang.

Dalam sesi dengar pendapat di Senat, Direktur CIA, Gina Haspel, mengatakan Iran "secara teknis...mematuhi" perjanjian nuklir 2015 walau AS menarik diri.

Keputusan penarikan AS dari perjanjian itu dibuat Trump pada 2018 guna mengekang ambisi nuklir Iran. Untuk tujuan itu, Trump juga memerintahkan pengetatan sanksi terhadap Iran.

Apa pernyataan Trump soal Korea Utara?

Sang presiden menulis, "waktu akan bercerita tentang apa yang akan terjadi dengan Korea Utara, namun pada akhir pemerintahan (AS) sebelumnya hubungan sangat buruk dan hal-hal jelek bakal terjadi."

"Kini ceritanya berbeda sama sekali. Saya menantikan untuk bertemu dengan Kim Jong-un dalam waktu dekat. Kemajuan tengah dilakukan—perbedaan besar!"

Dalam presentasi di hadapan para anggota Senat AS, direktur Intelijen Nasional, Dan Coats, dan petinggi badan intelijen lainnya memaparkan kepemilikan senjata nuklir "sangatlah penting bagi keberadaan rezim" Korut.

Karena itu, menurut laporan intelijen tersebut, Korea Utara "kemungkinan tidak menyerahkan" pasokan senjata dan kemampuan memproduksi senjata selagi berupaya merundingkan "langkah-langkah denuklirisasi parsial guna memperoleh konsesi-konsesi kunci dari AS dan internasional".

Presiden AS Donald Trump dijadwalkan bertemu dengan Pemimpin Korut, Kim Jong-un, pada Februari mendatang. Namun tanggal dan lokasi pasti belum ditentukan.

Ini merupakan pertemuan kedua setelah tatap muka di Singapura, Juni 2018 lalu, untuk merundingan denuklirisasi di Semenanjung Korea. Meski demikian, topik itu hanya mengalami sedikit kemajuan sejak pertemuan tersebut.

Apakah ini pertama kali Trump bentrok dengan para kepala intelijen?

Tidak.

Tahun lalu, Trump menghadapi hujan kritik dari Partai Demokrat dan Partai Republik setelah dia membela Rusia atas tuduhan bahwa Rusia mencampuri pemilihan presiden AS pada 2016.

Badan-badan intelijen AS menyimpulkan bahwa pada 2016 Rusia berada di balik upaya membalikkan keadaan dalam pilpres AS sehingga merugikan Hillary Clinton.

Upaya itu, menurut intelijen AS, diwujudkan antara lain dengan melancarkan serangan siber yang direstui pemerintah Rusia dan menyebar berita bohong alias hoaks pada media sosial.

Namun, ketika bertatap muka dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, di Helsinki pada Juli 2018, Trump mengatakan tiada alasan bagi Rusia untuk campur tangan.

"Saya bertemu Presiden Putin, dia berkata itu bukan Rusia. Yang saya katakan adalah: Saya tidak melihat alasan apapun mengapa itu demikian," kata Trump saat itu.

Selang 24 jam kemudian, Trump berkilah bahwa dia salah omong dan sebenarnya berniat berkata bahwa tiada alasan mengapa bukan Rusia yang campur tangan pada Pilpres 2016.

Trump kemudian menambahkan bahwa dirinya "punya keyakinan penuh dan mendukung" badan-badan intelijen AS.

Sementara itu, penyelidik khusus AS, Robert Mueller, tengah berkutat pada investigasi mengenai dugaan campur tangan Rusia pada pilpres 2016.

Trump berulang kali menyebut investigasi itu sebagai "perburuan politik".