Keluarga Korban Tentara Belanda di Indonesia akan Dapat Kompensasi

Diorama Agresi Militer Belanda. - Corbis/Getty Images
Sumber :
  • bbc

Pengadilan banding Belanda di Den Haag, pada Selasa (01/10), memutuskan bahwa negara Belanda bertanggung jawab atas eksekusi tentara Belanda terhadap seorang pria di Indonesia pada 1947 dan kasus itu tidak mengenal masa kedaluwarsa. Dengan demikian, gugatan lima warga Indonesia yang mengaku sebagai anak pria tersebut harus disidangkan.

Pengadilan yang lebih rendah sekarang akan mengadili kasus ini dan masih belum diputuskan kapan sidang digelar, tetapi gugatan yang akan diajukan adalah bahwa anak-anak korban juga berhak mendapatkan ganti rugi, sama seperti istri korban.

"Sama sebetulnya bahwa para janda suaminya dibunuh, anak-anak ayahnya yang dibunuh. Anak atau ibu, itu kan haknya sebetulnya sama. Suaminya dibunuh, berarti itu kan ada anaknya yang juga terkait. Apabila jandanya sudah meninggal berarti anaknya yang masih bisa menuntut," kata Jeffry M. Pondaag, Ketua Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda kepada Nuraki Aziz yang melaporkan untuk BBC Indonesia.

Dalam sidang itu, pengadilan akan berusaha untuk menentukan apakah para penggugat adalah anak-anak dari lelaki yang dieksekusi.

Jika identitas mereka dikonfirmasi, kelima WNI itu berhak mendapat ganti rugi atas penderitaan mereka selama masa kecil.

Sejumlah pihak memandang para keluarga korban memang harus menyiapkan bukti-bukti kuat lantaran pihak Belanda tidak mencatat siapa yang dibunuh dan kapan penembakan terjadi, serta juga tidak berusaha mendokumentasikan secara seharusnya.

``Yang pasti harus ada bukti-bukti yang kuat, bahwa para korban atau keluarga korban itu ada disitu,`` kata Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana.

``Dan yang kedua menunjukkan bahwa apakah korban bukan yang meninggal dan bagi yang meninggal keluarga korban apakah istri dan suami dengan menunjukkan bahwa mereka adalah suami istri yang sah dari korban meninggal itu.``

`Kasus Javaan Yaseman`

Selain kasus kelima WNI, pengadilan banding di Den Haag juga menguatkan vonis sebelumnya bahwa seorang lelaki Indonesia yang disiksa oleh Belanda berhak mendapatkan 5.000 euro atau Rp 77,6 juta sebagai kompensasi.

Lelaki itu bernama Javaan Yaseman, sebagaimana dilaporkan harian Belanda, AD.

Kompensasi itu diberikan lantaran pengadilan banding mementahkan dalih negara Belanda bahwa ada undang-undang mengenai masa kedaluwarsa kasus, yang biasanya mencapai 30 tahun.

Menurut pengadilan banding, undang-undang pembatasan masa kasus tidak "masuk akal" dan "adil" dalam kasus-kasus ini karena tingkat kekerasan luar biasa dan skala kesalahan yang dilakukan pemerintah Belanda saat itu.

Pengadilan banding juga menepis argumentasi negara bahwa tidak mungkin membuktikan kasus individu dari hampir 70 tahun lalu mengingat tidak ada lagi saksi atau terlalu tua untuk diteliti dan hampir tidak ada informasi dari sumber sejarah resmi.

Menurut pengadilan banding, ada bukti yang cukup untuk menunjukkan bahwa Yaseman disiksa.

Yaseman memiliki lekuk di tengkoraknya, yang oleh ahli forensik dikaitkan dengan pukulan yang ia terima dari tentara Belanda. Dia juga memiliki bekas luka dari luka bakar yang disebabkan oleh rokok yang disundut ke kulitnya.

"Ini adalah pernyataan prinsip yang unik. Belum pernah pengadilan memutuskan tentang kekerasan kolonial," kata Liesbeth Zegveld, pengacara anak-anak korban yang dieksekusi kepada harian Belanda, AD.

"Kami memulai ini 10 tahun lalu, memenangkan setiap kasus, tetapi negara tidak pernah menganggapnya serius," imbuh Zegveld.

"Di satu sisi, negara ingin berbicara tentang masa lalu dan membiarkannya diselidiki. Maka Anda tidak bisa mengatakan bahwa kasus-kasus ini dibatasi waktu. Itu benar-benar kasar dan jauh dari apa yang kita inginkan sebagai masyarakat."

Pembantaian Rawagede dan korban Westerling

Pada September 2011 lalu, sembilan keluarga korban pembantaian Rawagede memenangkan gugatan penting di pengadilan Belanda.

Pengadilan banding di Den Haag memutuskan bahwa pemerintah Belanda bertanggung jawab atas pembantaian terhadap tidak kurang dari 430 orang di Rawagede pada Desember 1947. Rawagede, merupakan sebuah desa yang terletak antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat yang sekarang bernama Balongsari.

Selain meminta maaf, pemerintah Belanda juga memberi ganti rugi kepada sembilan keluarga korban pembantaian, masing-masing 20.000 euro (atau sekitar Rp243 juta).

Pembunuhan Rawagede berlangsung ketika Belanda menggelar operasi keamanan yang lebih dikenal dengan Agresi Militer Belanda I yang ditujukan untuk merebut Jawa dan Sumatera.

Putusan soal pembantaian Rawagede ini membuka kasus-kasus lain yang terjadi antara periode 1945-1949.

Misalnya insiden yang dalam sejarah Indonesia dikenal dengan Pembantaian Westerling.

Dalam insiden ini ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan dibunuh pasukan Belanda pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling, Desember 1946 hingga Februari 1947.

Namun, saat itu negara Belanda berkeras gugatan hanya boleh diajukan oleh para korban langsung, bukan anggota keluarga mereka atau ahli waris mereka.

Pada 2013, Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (K.U.K.B) pendamping kasus ini mengatakan ada 10 janda korban penembakan Westerling yang akan menerima ganti rugi sebesar US$27000 atau Rp277,6 juta per orang.

"Jumlah nilai ganti ruginya sama dengan yang diberikan kepada keluarga korban peristiwa Rawagede ," Ketua Yayasan K.U.K.B, Jeffry Pondaag kepada BBC News Indonesia saat itu.

Pengacara yang mewakili keluarga korban, Liesbeth Zegveld memperkirakan kasus pembantaian yang terjadi di Sulawesi Selatan pada Desember 1946 hingga Februari 1947 telah mengakibatkan 40.000 orang tewas.

Namun laporan media Belanda mengatakan kasus tersebut memakan korban jiwa yang jauh lebih sedikit dari angka yang disebutkan oleh Zagveld yaitu antara 3.000 hingga 5.000 orang.