Seberapa Cepat Indonesia Bisa Deteksi Virus Corona Covid-19

Vivi Setyawati, kepala pusat penelitian biomedis di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, mengenakan pakaian pelindung dan masker sebelum masuk ke laboratorium pengujian virus Corona. - GALIH PRADIPTA/Antarafoto
Sumber :
  • bbc

Otoritas kesehatan di Indonesia menegaskan bahwa mereka mampu mendeteksi virus corona baru, di tengah kekhawatiran akan adanya kasus yang tidak terdeteksi.

Hampir satu bulan sejak ditemukan kasus virus korona baru di luar China, belum ada satu pun warga Indonesia yang dinyatakan positif terjangkit virus tersebut.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan pengujian virus korona baru, mengatakan pada hari Selasa (11/02) bahwa mereka telah memeriksa 64 kasus; 62 kasus dinyatakan negatif, sedangkan dua lainnya masih dalam pemeriksaan.

Vivi Setyawati, kepala pusat penelitian biomedis di Balitbangkes, mengatakan Indonesia telah memiliki reagen, disebut primer , yang dibutuhkan untuk mendeteksi materi genetik virus korona baru.

"Primer yang kita gunakan semua sudah sesuai protokol WHO," ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Vivi menambahkan, tenaga kesehatan di Indonesia sudah berpengalaman dalam menghadapi wabah-wabah penyakit; seperti flu burung, flu babi H1N1, SARS, dan MERS.

"Kita sudah menghadapi hal itu, terus berulang, jadi kita sudah punya persiapan untuk itu," imbuhnya.

Virus korona baru alias novel coronaviru s , yang baru saja diberi nama , telah menewaskan lebih banyak orang daripada wabah SARS pada tahun 2003. Pada hari Senin (11/02), lebih dari 1000 orang di China meninggal dunia akibat virus ini, sementara 42.694 orang telah terinfeksi. Namun .

Virus ini juga telah menyebar ke 27 negara dan teritori, tapi sejauh ini baru ada dua kematian di luar China yang dilaporkan, termasuk Filipina dan Hong Kong.

Studi yang dilakukan sekelompok peneliti dari Universitas Harvard mengungkap kemungkinan adanya kasus yang tidak terdeteksi di sejumlah negara, termasuk Indonesia dan Kamboja. Para peneliti membuat prediksi berdasarkan penerbangan langsung dari Wuhan ke suatu negara sebelum penerapan pembatasan perjalanan.

Studi tersebut, , belum melalui proses peer review atau pemeriksaan oleh sesama peneliti namun telah dikutip dalam banyak laporan media dan sempat menimbulkan pertanyaan akan kemampuan Indonesia dalam mendeteksi virus korona baru.

Kementerian Kesehatan mengatakan studi oleh para peneliti Harvard itu adalah prediksi berdasarkan hitungan matematika, yang belum tentu seseuai dengan kasus yang ditemukan di lapangan.

"Kalau diprediksi harusnya ada 6 kasus, ternyata sampai hari ini tidak ada, ya harusnya justru kita bersyukur. Kita sudah teliti dengan benar. Itu (penelitian ahli Harvard) hanya prediksi saja," kata kepala Balitbangkes Siswanto pada Senin (10/02) seperti dikutip Kompas .

Amin Soebandrio, direktur lembaga penelitian biologi molekular Eijkman, mengatakan faktor-faktor yang dimasukkan ke dalam perhitungan statistik dalam penelitian oleh para pakar Harvard adalah kondisi ketika Wuhan masih terbuka, kira-kira pertengahan Januari.

Selain itu, kata Amin, faktor yang dimasukkan hanya jumlah penerbangan atau jumlah orang yang bepergian. Sedangkan faktor-faktor lain, termasuk intervensi oleh pemerintah China sendiri serta negara-negara transit, sudah berubah secara signifikan.

"Sehingga prediksi itu sebetulnya hanya berlaku di saat itu," ujarnya.

Bagaimana cara mendeteksi virus korona baru?

Berbeda dari bakteri, virus tidak memiliki sel. Ia hanya memiliki materi genetik yang dibungkus dalam selubung protein atau kapsid . Materi genetik itu bisa berupa DNA dan, seperti dalam kasus virus korona, RNA.

Virus menginfeksi dengan menyuntikkan materi genetiknya ke dalam sel kemudian membajak kemampuan sel tersebut untuk menggandakan diri, menciptakan lebih banyak virus.

Virus korona adalah famili yang terdiri dari banyak virus, namun hanya tujuh (termasuk virus baru ini) yang diketahui menginfeksi manusia. Keluarga virus ini menyebabkan berbagai penyakit, mulai dari flu biasa hingga penyakit parah seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV). Penyakit yang disebabkan oleh virus korona baru dari Wuhan kini dinamakan Covid-19.

Untuk mendeteksi virus korona baru, petugas kesehatan di rumah sakit atau Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) mengambil sampel dari tenggorokan pasien diduga tertular atau suspect , yaitu pasien yang menunjukkan gejala infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan memiliki riwayat perjalanan ke tempat-tempat yang terdampak virus tersebut.

Sampel kemudian dibawa ke laboratorium Balitbangkes di Jakarta, tempat para peneliti kemudian melakukan uji untuk menentukan "identitas" virus secara genetik.

Para peneliti di laboratorium menggunakan primer, yaitu urutan (sekuens) basa nukleotida yang akan menempel pada materi genetik virus kemudian memperbanyaknya dalam proses yang dinamakan polymerase chain reaction (PCR).

Setelah proses perbanyakan (amplifikasi) dalam mesin PCR, didapatkan lebih dari satu miliar salinan materi genetik sampel. Jumlah ini cukup banyak untuk dideteksi dengan metode yang dinamakan fotospektroskopi . Dalam proses ini, para peneliti menggunakan kontrol positif, yaitu virus korona baru, dan kontrol negatif, yaitu larutan reagen saja.

Jika sampel menunjukkan positif, peneliti kemudian melakukan sekuensing materi genetiknya untuk mengkonfirmasi identitas virus.

Mengapa belum ditemukan kasus virus korona baru di Indonesia?

Beberapa pakar berteori bahwa iklim Indonesia yang hangat menghambat perkembangan virus, atau sistem pertahanan tubuh warga Indonesia yang entah bagaimana berbeda; namun semua ini perlu penelitian lebih lanjut.

Amin Soebandrio, kepala lembaga penelitian Eijkman, mengatakan memang betul bahwa virus korona pada umumnya peka pada suhu yang lebih hangat dan tidak tahan terlalu lama di permukaan yang kering. Tapi informasi tersebut berdasarkan sifat virus korona yang lain, bukan spesifik virus korona baru ini.

Amin menjelaskan bahwa di negara tetangga Indonesia yang iklimnya hampir sama seperti Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina telah ditemukan kasus virus korona baru. Jadi belum bisa dipastikan apakah perkembangan virus korona baru terhambat oleh iklim yang lebih hangat.

"Kita berharap seperti itu, tapi jangan membuat kita jadi lengah karena menganggap cuaca atau iklim akan melindungi kita," kata Amin.

Ia juga mengatakan, belum ada bukti spesifik yang menunjukkan adanya keunikan dalam sistem imun warga Indonesia.

"Saat ini kita hanya berharap [orang] Indonesia punya kekebalan atau host (inang) yang tidak disukai oleh si virus, karena ada berbagai faktor yang menyebabkan si virus tidak masuk atau hanya mampir tapi tidak sempat menimbulkan gejala."

Siapkah Indonesia menangani wabah virus korona baru?

Kementerian Kesehatan telah menyiapkan 100 rumah sakit yang ditetapkan sebagai rujukan untuk pasien yang diduga terinfeksi virus korona baru. Keseratus rumah sakit tersebut sebelumnya menangani wabah flu burung pada 2004.

Anung Sugihantono, direktur jenderal pencegahan dan pengendalian penyakit Kementerian Kesehatan, mengatakan pihaknya sudah mempersiapkan rumah sakit berdasarkan perhitungan epidemiologi.

"Kapasitas rumah sakit yang disiapkan di Papua berbeda dengan di Jakarta, yang densitasnya, probabilitasnya lebih tinggi seandainya terjadi [wabah]," kata Anung.

Perwakilan WHO di Indonesia, Navaratnasamy Paranietharan, mengatakan pihaknya "sepenuhnya percaya" bahwa lab nasional di Indonesia memiliki reagen, tes, dan tenaga ahli yang kompeten untuk mendeteksi transmisi virus korona baru.

"Indonesia telah bekerja sangat keras dalam beberapa tahun terakhir ... dan telah mempersiapkan diri untuk setiap kemungkinan," ujarnya.