Kerasnya Generasi Muda Jepang Lestarikan Shokunin yang Mau Punah

- Shiho Fukada & Keith Bedford
Sumber :
  • bbc

Jepang kerap digambarkan sebagai negara yang menyukai detail. Pegangan tangan di tangga untuk orang dengan ketinggian berbeda, penutup lubang got yang layak diabadikan dalam museum, serta bekal makan cantik dengan sayuran yang diukir dengan tangan menyerupai karakter-karakter lucu adalah hal-hal yang bisa ditemukan di Negara Matahari Terbit

Kekhasan itu tidak unik bagi Jepang betapa pun, jam tangan Swiss yang legendaris terkenal karena detailnya. Tapi Jepang punya sejarah panjang terkait meluangkan waktu untuk menyempurnakan sesuatu dengan sangat detail.

Bahkan, terdapat nama bagi seniman tradisional yang melakukan ini: shokunin . Maknanya mirip dengan "pengrajin", tapi juga lebih dari itu; istilah tersebut menjelaskan pengrajin berdedikasi yang mungkin menghabiskan seluruh hidupnya untuk menyempurnakan karya seninya, mencari nafkah dengannya dan memastikan keahliannya itu diwariskan ke generasi selanjutnya.

Salah satu contoh shokunin adalah Jiro Ono, seorang maestro sushi berusia 94 tahun dan tokoh utama dalam film dokumenter populer Jiro Dreams of Sushi . Toko kecilnya hanya menerima 10 tamu, dengan biaya ratusan dolar per orang dan sempat melayani pemimpin AS dan Jepang Barack Obama dan Shinzo Abe.

Namun ada kekhawatiran bahwa banyak shokunin di Jepang bertambah tua (bersama sisa populasinya), dan dalam banyak kasus tidak ada yang menggantikan mereka, terutama di komunitas rural yang mengalami penurunan populasi.

Seiring Jepang menua dan otomatisasi semakin meluas, apakah nilai dari warisan shokunin? Dapatkah generasi muda Jepang menjaganya — atau bahkan mengadaptasikannya?

Ketika menyemir sepatu menjadi seni

Salah satu shokunin dari generasi muda adalah Yuya Hasegawa, 35 tahun, yang memiliki sebuah toko di pusat perbelanjaan bergengsi Omotesando di Tokyo. Ia dikenal sebagai "Jedi" penyemir sepatu di Instagram.

Ia menghabiskan sebagian besar dari masa dewasanya untuk menyempurnakan keterampilan yang barangkali dipandang banyak orang sebagai hal remeh, murahan, dan kolot.

Namun demikian, ia berhasil mengangkat semir sepatu menjadi karya seni dan bisnis yang sangat sukses: ia menjalankan beberapa toko di Tokyo yang menjual produk sepatu dan membuka kursus menyemir sepatu bagi puluhan murid.

"Lima belas tahun lalu, ketika saya mulai bekerja di jalanan, semua tukang semir sepatu adalah orang tua — jadi saya berbeda hanya karena saya anak muda," ujarnya, yang mengenakan setelan jas rapi dan dengan cekatan menyemir sebuah sepatu kulit . "Perlu kekuatan fisik untuk melakukan ini, jadi semakin banyak energi, semakin baik."

Hasegawa menyebut dirinya shokunin sekaligus pengusaha. Setelah memulai usaha semir sepatu pegawai kantoran di luar Stasiun Tokyo untuk mencari nafkah, ia kini mempekerjakan sembulan staf, menyelenggarakan kompetisi nasional semir sepatu, dan layaknya seorang shokunin sejati, mengangkat murid: sekelompok anak muda berusia 20-40 tahunan, ujarnya.

Ia mendekati pekerjaannya dengan sangat cermat dan memperlakukan keterampilannya sebagai seni.

"Tidak ada artinya kalau hanya membersihkan sepatu. Anda perlu memahami situasi pelanggan yang akan mengenakan sepatu tersebut, seperti apa pekerjaannya, seperti apa pakaian yang mereka kenakan," ujarnya.

"Misalnya, jika seseorang mengenakan pakaian kasual, sepatunya tidak boleh terlalu mengilat [sesuai dengan tampilan kasual] dan lebih sebam (matte). Perlu keseimbangan — seperti riasan perempuan."

Kerajinan yang menginspirasi dunia

Sejarahnya, terutama di tempat-tempat seperti bekas ibu kota Kyoto tempat kerajinan tangan begitu dihargai, para pengrajin shokunin kerap menghabiskan hidup mereka untuk spesialisasi satu produk spesifik: membuat mangkuk nasi berpernis, kerajinan kayu untuk kuil, keranjang bambu.

Dengan menyempurnakan setiap detail dan menciptakan produk yang berguna, mereka menjadi orang-orang yang dihormati di komunitas.

Ini masih menjadi nuansa yang mendefinisikan Kyoto, bahkan di antara generasi muda.

Yozo Otsuki, 35 tahun, adalah warga asli Kyoto dan anak sepasang seniman yang mengelola sebuah toko kopi jazz puluhan tahun lalu. Sekarang, setelah berkarier di bidang keuangan, ia mengelola Kurasu, waralaba warung kopi di Kyoto. Ia juga menjual kopi yang khusus disangrai di Jepang dan peralatan kopi yang dibuat desainer Jepang kepada pelanggan di seluruh dunia.

Salah satu produknya, saringan kopi dari keramik yang terinspirasi dari origami, seni melipat kertas ala Jepang, telah menarik perhatian internasional.

Desainnya mendistribusikan air panas dengan lebih baik dalam gaya seduhan pour over . Produk tersebut digunakan oleh Du Jiang, perempuan asal China yang memenangkan kontes meracik kopi 2019 World Brewers Cup.

Dan cara menyeduh kopi ala Jepang di toko-toko tua seperti milik orang tua Otsuki – yang menuangkan kopi bagi setiap tamu – membuat terkesan perusahaan-perusahaan kopi generasi ketiga seperti Blue Bottle dari California.

Terinspirasi dari yang mereka lihat di Jepang, mereka kemudian mempopulerkan budaya warung kopi butik yang memukau dunia dalam beberapa tahun terakhir, kata Otsuki.

Blue Bottle mengonfirmasi hal ini: "Perhatian orang Jepang pada detail adalah salah satu inspirasi terbesar James Freeman keika merintis Blue Bottle Coffee," kata seorang juru bicaranya.

"Di Jepang, kami berusaha membuat sesuatu lebih baik dengan sumber daya yang terbatas. Secara fisik, kami hanyalah pulau kecil, dan terbiasa hidup terpisah dari dunia," kata Otsuki, merujuk pada masa isolasi Jepang dari tahun 1639 hingga 1854. Khususnya dengan kopi, semuanya harus diimpor setelah Perang Dunia II dan produknya kualitas rendah.

"Tapi hal yang hebat dari orang Jepang ialah mereka ingin membuat yang terbaik; berusaha membuatnya sempurna — meskipun produknya jelek atau bahan mentahnya bukan yang terbaik."

Bakal diganti robot

Meski begitu, seperti halnya di negara lain, jumlah pengrajin di Jepang semakin berkurang. Anak-anak muda menginginkan pekerjaan yang dipandang lebih menghasilkan uang sekaligus menawarkan mobilitas yang lebih baik, dan semakin banyak dari mereka memilih universitas daripada sekolah keterampilan.

Juga terdapat masalah keragaman; dalam sistem shokunin tradisional, seorang ayah mewariskan pengetahuannya kepada sang anak.

Meskipun perempuan telah mencapai status shokunin dalam kerajinan seperti anyaman bambu dan pernis, banyak restoran sushi mewah di Jepang tidak mempekerjakan perempuan karena mereka percaya bahwa perempuan tidak bisa atau tidak seharusnya menjadi koki sushi top. Jadi belum ada ekuivalen perempuan untuk Jiro.

"Sayangnya, para shokunin seperti pembuat pedang tradisional, pengrajin kimono, upacara minum teh, mereka menghilang karena tidak ada penerus," kata Shinya Nagasawa, profesor di Sekolah Bisnis Waseda di Tokyo.

Ia mempertanyakan relevansi shokunin dan produk buatan tangan mereka.

"Kebanyakan konsumen di Jepang setuju bahwa ada krisis, tapi mereka tidak membeli."

Statistik tampaknya setuju. "Pendapatan dari kerajinan tradisional menurun dari 540 miliar yen pada 1983 menjadi 96 miliar yen pada 2016, menurut Asosiasi untuk Promosi Industri Kerajinan Tradisional," kata Takeshi Tashiro dari Peterson Institute for International Economics (PIIE), sebuah organisasi penelitian nirlaba di Washington, DC.

Juga semakin banyak tempat kerja yang menggunakan otomatisasi — mempekerjakan robot-robot canggih yang dapat melakukan pekerjaan fisik yang rumit dan berulang-ulang.

Pabrik mobil Nissan adalah salah satu contohnya; mereka berinvestasi dalam "membuat robot yang ahli" dengan menggabungkan otomatisasi teknologi tinggi dengan keterampilan pengrajin manusia yang dibangun melalui pengalaman kerja selama bertahun-tahun.

Tetsuya Obata, manajer bagian perencanaan teknik Nissan, mengatakan para robot sedang dilatih untuk menerapkan bahan segel ke pintu mobil di tahap perakitan pabrik.

Seorang pekerja dengan pengalaman 15 tahun di lantai produksi – yang tahu persis berapa banyak tekanan yang harus diterapkan serta sudut dalam menerapkan bahan segel – menjelaskan prosesnya kepada programmer, yang kemudian menciptakan robot yang sekarang melakukan hal yang sama.

Karyawan manusia itu bukanlah seorang shokunin tetapi sesuatu yang mirip, yang disebut takumi — pengrajin yang pekerjaannya tidak begitu teratur atau berulang-ulang seperti seorang shokunin , tetapi tetap membutuhkan banyak pelatihan dan perhatian pada detail.

Obata mengatakan bahwa jumlah orang dengan keterampilan `takumi` ini semakin berkurang, karena tenaga kerja menyusut dan lebih banyak anak muda memilih untuk mengejar gelar di universitas. Jadi Nissan ingin mempekerjakan lebih banyak robot ini, menggunakan pengrajin terampil yang masih ada untuk bekerja bersama para ahli robotika, mengajar robot untuk melakukan tugas-tugas presisi mereka.

Menyeimbangkan seni dan realitas finansial

Namun tidak setiap tugas yang berulang dan rumit dapat diotomatisasi.

Dan, seperti yang dikatakan Takeshi Tashiro dari PIIE, "kerajinan tradisional masih punya nilai ekonomi yang besar", merujuk pada sektor pariwisata Jepang yang menarik banyak turis dengan mengajarkan cara menyeruput teh hijau buatan tangan atau mencoba kimono.

Baik itu barang sekali pakai atau mobil, Jepang tetap memiliki reputasi untuk perhatian terhadap detail yang menarik minat warga dunia.

Bisa jadi agar etos shokunin terus berkembang, produknya itu sendiri mungkin harus berubah.

Caranya mungkin dengan menggabungkan kerajinan shokunin dengan produk yang lebih diminati — seperti kopi spesial dan semir sepatu yang bagus.

Nagasawa mengatakan salah satu solusinya ialah kolaborasi antara merek-merek mewah dunia dan bisnis lama Jepang yang memberikan sentuhan modern pada barang tradisional.

Sebagai contoh, pada tahun 2017, Hermes bermitra dengan Karacho, studio percetakan di Kyoto yang didirikan pada tahun 1624, untuk membuat buku catatan antik dengan sampul yang mencolok.

Pada tahun 2007 silam, Louis Vuitton bekerja sama dengan pengrajin di prefektur Ishikawa untuk membuat kotak aksesori berpernis edisi terbatas.

Gucci dan Tiffany juga pernah berkolaborasi dengan pengrajin Jepang.

Tashiro juga percaya bahwa perhatian terhadap detail ala shokunin dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan `kekuatan lunak `Jepang.

"Banyak anime dan video gim yang terinspirasi oleh kerajinan seperti itu, dan sebaliknya," katanya.

November lalu, Mataro, perusahaan berusia seabad di Tokyo yang membuat boneka tradisional Jepang, merilis boneka Pikachu yang berdesain rumit untuk merayakan peluncuran video gim Pokemon terbaru.

Upaya seperti ini dapat membantu melestarikan shokunin di masa depan.

Bagi Hasegawa, bertahan hidup bisa berarti menyeimbangkan seni dengan realitas finansial, sehingga ia dapat menopang komunitas para shokunin penyemir sepatu.

"Jika saya hanya seorang shokunin , saya tidak dapat mengembangkan bisnis. Saya tidak melihat banyak penyemir sepatu — saya melihat orang tua melakukannya, dan mereka berhenti," katanya.

Tapi sekarang ia menghabiskan banyak waktunya untuk mengajari keterampilannya kepada para murid-muridnya sehingga mereka dapat meneruskan perjuangannya.

"Mereka muda dan keren. Saya ingin membawa semir sepatu ke dunia mode," katanya.

"Saya ingin membawanya ke panggung lain."

Liputan tambahan oleh Yoko Ishitani .

—

Anda dapat membaca versi bahasa Inggris artikel ini, , di laman .