Pandemi Corona Mengacu Sebaran Virus Masif bukan ke Ancaman Kematian

ANTISIPASI PENYEBARAN VIRUS CORONA
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

VIVA – Badan Kesehatan Dunia (WHO) resmi mengumumkan virus Corona COVID-19 sebagai pandemi. Pengumuman ini akhirnya disampaikan setelah tiga bulan sejak kemunculan virus Corona pertama kali di China.

Hingga saat ini sudah lebih dari 100 negara yang terinfeksi Corona termasuk Indonesia.

Namun langkah WHO tersebut dinilai cenderung terlambat mengingat wabah tersebut sudah menyerang ke seluruh benua kecuali Antartika. 

Dirjen WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus berdalih bahwa naiknya status virus Corona dari yang semula epidemi menjadi pandemi disebabkan oleh peningkatan penderita yang mencapai tiga kali lipat di seluruh dunia. 

Pandemi sendiri berasal dari bahasa Yunani pan yang berarti ‘seluruh’ dan demos yang berarti ‘orang-orang’. Pandemi yang memiliki kata sifatnya pandemik merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu penyakit yang menyerang beberapa negara dan benua sekaligus.

Menurut WHO sesuatu dapat dinyatakan sebagai pandemik ketika sifat penyakit baru yang belum ditemukan penawarnya menyebar ke seluruh dunia secara cepat dan tak terduga.

Sementara epidemi yang biasanya digunakan pada penyakit yang penyebarannya hanya mencakup satu wilayah tertentu saja.

Mengapa Baru Sekarang

Menurut WHO, kasus di mana travellers terinfeksi suatu virus dan kembali lagi ke negara asalnya, tidak cukup kuat untuk dijadikan tolok ukur pandemik. Harus ada penyebaran gelombang kedua dari satu orang ke orang lainnya melalui satu komunitas. WHO menyatakan bahwa sebelumnya virus Corona hanya menyebar secara lokal dan terbatas dengan negara China sebagai sumber asalnya. Selain itu hotspot lain seperti Iran dan Italia. Namun sekarang penularan lokal telah terjadi secara luas di 114 negara dengan 10 di antaranya tercatat 500 kasus.

Terlepas dari ketakutan yang menghantui warga di seluruh belahan dunia, pandemik lebih ditujukan pada penyebaran virus yang masif sehingga bukan pada potensi kematian yang disebabkannya.

WHO terakhir kali mendeklarasikan pandemi pada 2009 silam dalam kasus H1N1 atau flu babi. Selain itu pada 1918 terdapat pula pandemi HIV dan flu Spanyol. Salah satu pandemi yang paling mematikan adalah wabah Black Death yang menyebabkan 200 juta orang mati pada abad pertengahan. Selain itu, wabah smallpox yang terjadi pada abad ke-20 telah menewaskan setidaknya 300 juta orang di dunia, dilansir Metro.

Begitu status pandemi dikeluarkan maka kemungkinan terjadinya penyebaran virus akan semakin masif. Oleh karena itu setiap pemerintah harus memastikan bahwa sistem kesehatan yang mereka miliki telah siap untuk menangani hal ini. 

Dr Michael Head, peneliti senior dari Global Health, Universitas Southampton mengingatkan bahwa WHO telah mengatakan bahwa beberapa negara tidak hanya mengalami kesulitan dengan sumber daya yang terbatas namun juga kekurangan ide pemecahan masalah. Hal ini merupakan indikasi yang jelas bahwa banyak negara yang cukup lamban dalam menangani masalah virus Corona ini.

Namun dengan situasi pandemi ini akan memungkinkan negara-negara terinfeksi mengambil kebijakan intervensi seperti melarang pertemuan publik, lebih cepat dari yang mereka rencanakan.

Sementara Dr Nathalie MacDermott yang merupakan pengajar National Institute for Health Research, King’s College London menyatakan, “Perubahan istilah tidak mengubah apa pun mengingat seluruh dunia sudah diwanti-wanti tentang kemungkinan potensial pandemik yang mana semoga saja telah ditanggapi secara serius oleh seluruh negara.”

“Kendati demikian, penggunaan istilah ini (pandemik) tak dipungkiri semakin menekankan pentingnya partisipasi negara-negara di seluruh dunia untuk saling kooperatif satu sama lain dan bersatu untuk mengendalikan situasi.”

Pakar lain menilai bahwa aksi cepat tanggap dibutuhkan oleh negara-negara dengan jumlah kasus terinfeksi yang signifikan. Oleh karena itu dunia harus mengambil tindakan berkelanjutan yang dapat diterapkan dalam jangka waktu yang lama. 

Laporan: Nariyati