Pandemi Corona di Kamp Pengungsi Rohingya, 1 Toilet Digunakan 40 Orang

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc
Getty Images
Warga di pengungsian sangat rentan terpapar virus corona.

Organisasi hak asasi manusia, Human Rights Watch, HRW, mengatakan warga di pengungsian sangat rentan terhadap virus corona karena situasi kamp yang terlalu padat, adanya larangan bepergian dan sanitasi yang buruk.

Infeksi positif virus corona di Myanmar diumumkan minggu lalu, dan korban jiwa pertama terjadi hari Senin (30/03).

Sebelumnya, pemerintah Myanmar mengatakan bahwa gaya hidup dan pola makan di negara itu telah melindungi mereka dari virus.

Myanmar, negara dengan 51 juta penduduk, memiliki sistem kesehatan yang buruk.

Sebagian besar penduduk tidak memiliki layanan kesehatan dasar, menurut, Profesor Nehginpao Kipgen dari Jindal School of International Affairs kepada BBC News. Apa lagi warga yang berada di pengungsian.

Warga yang tinggal di pengungsian kadang harus berjuang untuk layanan dasar seperti akses untuk mendapatkan air bersih dan layanan dasar lain.

"Kondisi kesehatan sudah sangat buruk bagi para pengungsi di kamp-kamp di Rakhine, Kachin, dan bagian utara Shan, dan kini COVID-19 mengancam komunitas yang rentan ini," kata Brad Adams, Direktur Asia HRW.

Organisasi non-profit Inggris Oxfam menggambarkan situasi di salah satu kamp di negara bagian Rakhinea dan kesulitan perawatan kesehatan bahkan dalam keadaan sekarang ini.

"Jika ada yang sakit dan butuh perawatan dari spesialis, mereka harus meminta izin resmi yang bisa memakan waktu beberapa hari. Lalu mereka harus membayar pengawalan keamanan untuk pergi ke rumah sakit," kata Oxfam dalam pernyataan mereka.

Potensi korban dalam jumlah besar di kamp pengungsi Muslim Rohingya

Getty Images
Para pengungsi Rohingya berada di kamp yang sangat kotor, kata HRW.

Gelombang kekerasan komunal di Myanmar telah membuat puluhan ribu orang mengungsi, kebanyakan adalah etnis minoritas Muslim Rohingya yang dipersekusi.

Menurut laporan yang diterbitkan oleh HRW pada hari senin (30/03), sekitar 130.000 Muslim di Rakhine hidup di kamp tahanan terbuka, yang nyaris tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan, serta tak ada fasilitas tes terhadap COVID-19 sama sekali.

BBC

GEJALA dan PENANGANAN: Covid-19: Demam dan batuk kering terus menerus

PETA dan INFOGRAFIS: Gambaran pasien yang terinfeksi, meninggal dan sembuh di Indonesia dan dunia


Laporan ini menyatakan dalam kamp-kamp seperti itu, satu toilet digunakan bergantian oleh 40 orang, hanya dengan satu akses air bersih untuk sekitar 600 orang.

Getty Images
Myanmar mencatat 14 kasus virus corona sejauh ini.

Kondisi ini membuat penyebaran virus menjadi sangat mudah.

Mereka menambahkan warga ini "secara efektif berada dipenjara... secara sewenang-wenang dicabut kebebasan mereka untuk bergerak" dan karenanya mereka tak bisa mengakses fasilitas kesehatan umum, seandainya mereka mampu.

"Kamp ini sangat padat di mana-mana, tak mungkin orang saling jaga jarak di sana dan akan meningkatkan secara signifikan risiko penularan," kata laporan HRW.

Laporan ini menyerukan agar pemerintah mencabut pembatasan pada kamp-kamp ini dan mengalokasikan ruang tambahan bagi orang agar mereka bisa melakukan jaga jarak satu sama lain.

Namun bukan hanya kondisi warga di pengungsian ini yang membuat khawatir para ahli.

"WHO menempatkan sistem layanan kesehatan di Myanmar sebagai salah satu yang terburuk di dunia akibat diabaikan pada masa pemerintahan junta militer," kata Prof Kipgen.

"Kota-kota seperti Yangoon dan Mandalay memang punya fasilitas kesehatan yang cukup baik, tetapi di bagian lain negara ini mereka tidak punya layanan kesehatan dasar sekalipun."

Gaya hidup sehat dan pola makan?

Selama berminggu-minggu, pihak berwenang membantah adanya kasus di Myanmar, yang berbatasan dengan China.

Ratusan warga menyeberang perbatasan setiap harinya untuk bekerja di China, terkadang secara illegal, menurut sebuah laporan setempat.

"Myanmar berbatasan dengan China sepanjang 2.200km. Mereka menerima sekitar 750.000 warga China di tahun 2019 dari sumber utama pendapatan negara mereka yaitu pariwisata," kata Prof Kipgen.

Lambatnya respon Myanmar terhadap wabah telah dikritik keras.

Hingga akhir Maret, sekitar 300 tes dilaksanakan di seluruh negeri, menurut kantor berita Reuters.

Juru bicara pemerintah Zaw Htay mengatakan ketiadaan kasus di Myanmar disebabkan oleh "gaya hidup dan pola makan ", seraya menambahkan bahwa kebiasaan warga untuk menggunakan uang kontan dan bukan kartu kredit menyebabkan mereka lebih sedikit risikonya tertular virus.

Di Myanmar kini ada 14 kasus positif yang sudah dipastikan, kebayakan dari orang yang bepergian ke luar negeri.

Hari Senin (30/03), mereka mencatat kematian pertama akibat virus, seorang pria berusia 69 tahun yang juga menderita kanker. Sebelumnya, ia bepergian ke Australia dan Singapura.

Sampai Rabu (01/04), terdapat 859.566 kasus yang sudah dipastikan di seluruh dunia dengan 42.332 kematian, menurut hitungan yang dilakukan oleh Johns Hopkins University.

Laporan oleh wartawan BBC Yvette Tan.